Psikologi Pendidikan
Proses
Perkembangan Anak

Dosen Pengampu:
Mutmainnah,
S.Ag, M.Si
Disusun oleh:
Kelompok
1
1. Fitri
Nur Lailiyah (150611100122)
2. Dwi
Resty Yuliandari (150611100128)
3. Layliya
Mustika Febriana (150611100130)
4. Leni
Ningtia Safitri (150611100145)
5. Azzahroo
Ishaardate (150611100160)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah – Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas matakuliah Psikologi Pendidikan tentang Standar Perkembangan Anak.
Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih terdapat
banyak kesalahan dan kekurangan, baik dalam penyusunan kata, bahasa, dan
sistematika pembahasannya. Sebab kata pepatah “tak ada gading yang tak retak
atau dengan pepatah lain tak ada ranting yang tak akan patah”. Oleh sebab itu
kami sangat mengharapkan masukan atau kritikan serta saran yang bersifat
membangun untuk mendorong kami menjadi
lebih ke depanya.
Akhir
kata, kami mengucapkan terima kasih kepada pembaca yang sudah berkenan membaca
makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat, khususnya bagi kami dan
pembaca. Amin..
Bangkalan, 9 Oktober 2016
Tim
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ..................................................................................................... .... 2
Daftar Isi .............................................................................................................. .... 3
Bab I
Pendahuluan
1.1
Latar Belakang ........................................................................................... .... 4
1.2
Rumusan Masalah....................................................................................... .... 5
1.3 Tujuan
........................................................................................................ .... 5
Bab II
Pembahasan
2.1 Tahap
Perkembangan Bahasa Anak ........................................................... .... 6
2.2 Tahap
Perkembangan Kognitif Anak ........................................................ .... 10
2.3 Proses
Perkembangan Sosio-Emosional Anak ........................................... .... 15
Bab III Penutup
3.1
Kesimpulan................................................................................................. .... 25
3.2
Saran........................................................................................................... .... 25
Daftar Pustaka ...................................................................................................... .... 26
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Perkembangan yang terjadi pada anak meliputi segala aspek
kehidupan yang mereka jalani baik bersifat fisik maupun non fisik.
Perkembanmgan berarti serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai
akibat dari proses kematangan dan pengalaman. Perkembangan adalah suatu proses
perubahan, yaitu perubahan dari suatu keadaan menjadi keadaan yang lain, dan
ini terjadi pada diri seseorang secara terus-menerus sepanjang hayatnya.
Perkembangan meliputi perkembangan fisik dan non fisik. Beberapa teori
perkembangan manusia telah mengungkapkan bahwa manusia telah tumbuh dan
berkembang dari masa bayi kemasa dewasa melalui beberapa langkah jenjang. Dalam
perjalanan hidupnya menjadi dewasa, perkembangan ruhani tidak lepas dari
pengaruh keturunan dan pengaruh dunia lingkungan tempat seseorang hidup dan
dibesarkan. Aspek-aspek perkembangan meliputi 3 aspek yaitu, perkembangan
fisik, intelegensi dan emosi.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah tahap perkembangan bahasa anak?
2.
Bagaimanakah tahap perkembangan kognitif anak?
3.
Bagaimanakah proses perkembangan sosio-emosional anak?
1.3 Tujuan
1.
Mengetahui bagaimanakah tahap perkembangan bahasa
anak;
2.
Mengetahui bagaimanakah tahap perkembangan kognitif
anak, dan
3.
Mengetahui bagaimanakah proses perkembangan
sosio-emosional anak.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Tahap Perkembangan Bahasa Anak
a. Tahap
Perkembangan Bahasa Santrock
Bahasa sebagai warisan biologis dan lingkungan yaitu yang
pada dasarnya perkembangan bahasa itu dipengaruhi oleh faktor biologis dan
faktor lingkungan. Beberapa aspek penting dalam membahas faktor biologis yang
menentukan perkembangan bahasa oleh Santrock dan Yussen (1992) menyatakan bahwa
anak manusia dilahirkan tidak seperti burung yang datang ke dunia secara
biologis sudah siap menyanyikan lagu - lagu sesuai dengan jenisnya. Para ahli
percaya bahwa evolusi biologis membentuk manusia ke dalam makhluk linguistik. Berkenaan dengan evolusi biologis,
otak, system syaraf, dan sistem vocal berubah selam beratus - ratus ribu tahun. Kemudian
bahasa adalah suatu pemerolehan yang selalu baru terjadi. Sedangkan secara
ikatan biologis sendiri dinyatakan oleh (Santrock and Yussen, 1992) yang
percaya bahwa manusia terikat secara biologis untuk belajar bahasa pada suatu
waktu tertentu dengan cara tertentu pula. Ditegaskan pula bahwa anak - anak itu
dilahirkan ke dunia dilengkapi dengan alat pemerolehan bahasa atau suatu
kemampuan gramatikal yang dibawa sejak lahir yang mendasari semua bahasa
manusia.
Tahap Perkembangan Bahasa Santrock
· 0 – 6 bulan Sekedar bersuara,
membedahkan huruf hidup, berceloteh .
Sebelum
anak-anak mengucapkan kata-kata, mereka mambuat ocehan dengan ucapan: baa, maa,
paa, dsb. Mengoceh ini dapat terjadi pada usia sekitar 3 sampai 6 bulan. Untuk
dapat melakukan itu dengan lancar sangat ditentukan oleh kematangan biologis,
bukan pengukuhan atau kemampuan mendengar. Bahkan kejadian itu terjadi juga
pada anak tuna rungu.
· Pada akhir periode 6- 12 bulan celoteh bertambah dengan mencakup
suara dari bahasa ucap, isyarat digunakan untuk mengkomunikasikan suatu obyek
· 12- 18 bulan Kata pertama diucapkan,
rata-rata memahami 50 kasakata
· 18 – 24 bulan Kosakata bertambah dan
pada anak yang berumur 18 sampai 24 bulan telah mulai mengucapkan pernyataan
dengan 2 kata. Selama masa ini mereka sudah mulai merasa penting
mengekspresikan konsep - konsep dan menganggap bahwa bahasa memainkan proses
penting dalam berkomunikasi dengan orang lain berupa penggunaan kata-kata yang
pendek dan tepat untuk berkomunikasi, yang di karakteristikan dengan ungkapan
anak-anak.
· Anak usia 2 tahun perkembangan
bahasa anak dimulai dengan ucapan-ucapan dua kata seperti “susu lagi” dan
“mobil besar”. Penguasaan anak dalam hal memahami kata-kata sudah lumayan
cepat.
· Anak usia 3 tahun mengembangkan
kemampuan bahasa pada hal yang secara fisik tidak ada maksudnya mereka mulai
mengimajinasikan suatu kata (mulai mengarang suatu cerita berdasarkan kata-kata
yang sudah ia terima), seperti kata meja anak akan mengatakan bahwa ia sekarang
sedang berdiri di depan meja padahal ia tidak melakukannya.
· Anak usia 4 - 5 tahun sudah mulai
bisa memahami ucapan orang lain. Anak usia ini juga mulai bisa membedakan cara
bicaranya terhadap lawan bicara seperti : ketika berbicara dengan anak berusia
2 tahun, anak usia 4 tahun akan menggunakan kalimat yang pendek.
· 5 - 6 tahun Kosakata mencapai rata-rata
10.000 kata, koordinasi kalimat sederhana.
· 6 - 8 tahun Kosakata terus bertambah
cepat, lebih ahli menggunakan sintaksis, keahlihan bercakap meningkat.
· 9 - 11 tahun Definisi kata mencakup
sinonim, strategi berbicara terus bertambah.
· 11 - 14 tahun Kosakata bertambah dengan
kata-kata abstrak, pemahaman bentuk tata bahasa kompleks, pemahaman fungsi kata
dalam kalimat.
· 15 - 20 tahun Dapat memahami karya sastra
dewasa.
Perkembangan
bahasa individu (Santrock 2010: 75) Sebelum belajar membaca anak belajar
menggunakan bahasa untuk berbicara mengenai hal-hal yang tidak ada, mereka
belajar mengenai apa itu kata, seperti mereka belajarbagaimana mereka mengenali
bunyi dan membahas tentang hal tersebut (Berko Gleason,2003 dalam Santrock 2011
:218) Perkembangan kosakata memilik peranan penting dalam pemahaman membaca
(Berninger, 2006 dalam Santrock 2011 :218). Jika anak mengembangkan kosakata
yang luas maka langkah selanjutnya untuk membaca yang lebih ringan. Anak yang
memulai sekolah dasar dengan bekal kosakata yang tidak banyak akan mengalami
kesulitan ketika mereka belajar membaca.
Terdapat dua faktor penting
yang mempengaruhi perkembangan bahasa, yaitu sebagai berikut.
a. Proses jadi matang, dengan
perkataan lain anak itu menjadi matang (organ-organ suara/bicara sudah
berfungsi) untuk berkata-kata.
b. Proses belajar, yang berarti
bahwa anak yang telah matang berbicara lalu mempelajari bahasa orang lain
dengan jalan mengimitasi atau meniru ucapan atau kata-kata yang didengarnya.
Kedua proses ini berlangsung sejak masa bayi dan kanak-kanak, sehingga pada
usia anak memasuki sekolah dasar, sudah sampai pada tingkat : (1) dapat membuat
kalimat yang lebih sempurna, (2) dapat membuat kalimat majemuk, (3) dapat
menyusun dan mengajukan pertanyaan.
b. Periode
Perkembangan Bahasa
M. Schaerleakens (1977) membagi fase-fase perkembangan bahasa anak
dalam empat periode. Perbedaan fase-fase ini berdasrkana pada cirri-ciri
tertentu yang khas pada setiap periode. Adapun periode-periode tersebut sebagai
berikut:
· Periode
Prelingual (usia 0 - 1 tahun)
Disebut demikian karena anak belum dapat mengucapkan ‘bahasa ucapan’
seperti yang diucapkan orang dewasa, dalam arti belum mengikuti aturan-aturan
bahasa yang berlaku. Pada periode ini anak mempunyai bahasa sendiri, misalnya
mengoceh sebagai ganti komunikasi dengan orang lain. Contohnya baba,mama, tata,
ayng mungkin merupakan reaksi terhadap situasi tertentu atau orang tertentu
sebagai awal suatu simbolisasi karena kematangan proses mental pada usia 9-10
bulan.
Pada periode ini, perkembangan yang menyolok adalah perkembangan
comprehension, artinya penggunaan bahasa secara pasif. Misalnya anak mulai
bereaksi terhadap pembicaraan orang dengan melihat kepada pembicara dan
memberikan reaksi yang berbeda terhadap suara yang ramah, yang lembut, dan yang
kasar.
· Periode
Lingual Dini (1 - 2,5 tahun)
Pada periode ini anak mulai mengucapkan perkataannya yang pertama,
meskipun belum lengkap. Misalnya: atia (sakit), agi (lagi), itut (ikut), atoh
(jatuh). Pada masa ini beberapa kombinasi huruf masih sukar diucapkan, juga
beberapa huruf masih sukar untuk diucapkan seperti r, s, k, j, dan t.
pertambahan kemahiran berbahasa pada periode ini sangat cepat dan dapat dibagi
dalam tiga periode, yaitu:
a. Periode
kalimat satu kata ( holophrare)
Menurut aturan tata bahasa, kalimat satu kata bukanlah suatu kalimat, karena
hanya terdiri dari satu kata, tetapi para ahli peneliti perkembangan bahasa
anak beranggapan bahwa kata-kata pertama yang diucapkan oleh anak itu mempunyai
arti lebih dari hanya sekedar suatu ‘kata’ karena kata itu merupakan ekspresi
dari ide-ide yang kompleks, yang pada orang deawasa akan dinyatakan dalam
kalimat yang lengkap. Contohnya: ucapan “ibu” dapat berarti: Ibu
kesini! Ibu kemana? Ibu tolong saya! Itu baju ibu, Ibu saya lapar,
dst.
Pada umunya, kata pertama ini dipergunakan untuk member komentar
terhadap obyek atau kejadian di dalam lingkungannya. Dapa berupa perintah,
pemberitahuan, penolakan, pertanyaan, dll. Bagaimana menginterpretasikan kata
pertama ini tergantung pada konteks waktubkata tersebut di ucapkan, sehingga
untuk dapat mengerti apa maksud si anak dengan kata tersebut kita harus melohat
atau mengobservasi apa yang sedang dikerjakan anak pada waktu itu. Intonasi
juga sangat membantu untuk mempermudah menginterpretasikan apakah si anak
bertana, member tahu, atau memerintah.
b. Periode
kalimat dua kata
Dengan bertambahnya perbendaharaan kata yang diperolah dari lingkungan
dan juga karena perkembangan kognitif serta fungsi-fungsi lain pada anak, maka
terbentuklah pada periode ini kalimat yang terdiri dari dua kata.
Pada umunya, kalimat kedua muncul pertama kali tatkala seorang anak
mulai mengerti suatu tema dan mencoba untuk mengekspresikannya. Hal ini terjadi
pada sekitar usia 18 bulan, dimana anak menentukan bahwa kombinasi dua kata
tersebut mempunyai hubungan tertentu yang mempunya makna berbeda-beda, misalnya
makna kepunyaan (baju ibu), makna sifat (hidung pesek), dan lain sebagainya.
c. Kaimat
lebih dari dua kata
Kalau ada lebih dari dua kata di bidang morfologi belum terlihat perkembangan
yang nyata, maka pada periode kalimat lebih dari dua kata sudah terlihat
kemampuan anak di bidang morfologi. Keterampilan membentuk kalimat bertambah,
terlihat dari panjangnay kalimat, kalimat tiga kata, kalaimat empat kata, dan
seterusnya. Pada periode ini penggunaan nahasa tidak bersifat egosentris lagi,
melainkan anak sudah mempergunakan untuk komunikasi dengan orang lain, sehingga
mulailah terjadi suatu hubungan yang sesungguhnya antara anak dengan orang
dewasa.
· Periode
Diferensiasi (usia 2,5 - 5 tahun)
Yang menyolok pada periode ini adalah keterampilan anak dalam
mengadakan diferensiasi dalam penggunaan kata-kata dan kalimat-kalimat. Secara
garis besar ciri umum perkembangan bahasa pada periode ini adalah sebagai
berikut:
1) Pada
akhir periode secara garis besar anak telah menguasai bahasa ibunya, artinya
hukum-hukum tatabahasa yang pokok dari orang dewasa telah dikuasai.
2) Perkembangan
fonologi boleh dikatakan telah berakhir. Mungkin masih ada kesukaran pengucapan
konsonan yang majemuk dan sedikit kompleks.
3) Perbendaharaan
kata sedikit demi sedikit mulai berkembang.Kata benda dan karta kerja mulai
lebih terdiferensiasi dalam pemakaiannya, hal ini ditandai dengan penggunaan
kata depan, kata gati dank at kerja bantu.
4) Fungsi
bahasa untuk komunikasi benar-benar mulai berfungsi. Persepsi anak dan
pengalamannya tentang dunia luar mulai ingin dibaginya dengan orang lain,
dengan cara memberikan kritik, bertanya, menyuruh, membri tahu dan lain-lain.
5) Mulai
terjadi perkembangan di bidang morfologi, ditandai dengan munculnya kata jamak,
perubahan akhiran, perubahan kata karja, dan lain-lain.
· Perkembangan
bahas sesudah usia 5 tahun
Dalam periode ini ada anak dianggap telah menguasai struktur sintaksis
dalam bahasa pertamanya, sehingga ia dapat membuat kalimat lengkap. Jadi sudah
tidak terlalu banyak masalah. Menurut Piaget, pada periode ini perkembangan
anak di bidang kognisi masih berkembang terus sampai usia 14 tahun, sedangkan
peranan kognisi sanga t besar dalam penggunaan bahasa. Dengan masih terus
berkembangnya kognisi, dengan sendirinya perkembangan bahasa juga masih
berkembang.
2.2
Tahap Perkembangan Kognitif
a. Periode
Perkembangan Kognitif Piaget
Tahap- Tahap Perkembangan Kognitif
Piaget berpendapat bahwa manusia
sama secara genetik dan mempunyai pengalaman yang hampir sama, sehingga mereka
dapat diharapkan untuk sungguh-sungguh memperlihatkan keseragaman dalam
perkembangan kognitif mereka. Piaget menjelaskan perkembangan tahap-tahap
perkembangan kognitif, yaitu sebagai berikut:
a. Sensorimotor
(0- 2 tahun)
(Ciri
pokok perkembangannya anak mengalami dunianya melalui gerak dan inderanya serta mempelajari permanensi
obyek)
1. Periode 1 : Refleks (umur 0
– 1 bulan)
Periode
paling awal tahap sensorimotor adalah periode refleks. Ini berkembang sejak
bayi lahir sampai sekitar berumur 1 bulan. Pada periode ini,
tingkah laku bayi kebanyak bersifat refleks, spontan, tidak disengaja, dan tidak terbedakan. Tindakan seorang bayi didasarkan pada adanya rangsangan dari
luar yang ditanggapi secara refleks.
2. Periode 2 : Kebiasaan (umur
1 – 4 bulan)
Pada
periode perkembangan ini, bayi mulai membentuk kebiasan-kebiasaan pertama.
Kebiasaan dibuat dengan mencoba-coba dan mengulang-ngulang suatu tindakan.
Refleks-refleks yang dibuat diasimilasikan dengan skema yang telah dimiliki dan
menjadi semacam kebiasaan, terlebih dari refleks tersebut menghasilkan sesuatu.
Pada periode ini, seorang bayi mulai membedakan benda-benda di dekatnya. Ia
mulai mengaakan diferensiasi akan macam-macam benda yang dipegangnya. Pada
periode ini pula, koordinasi tindakan bayi mulai berkembang dengan penggunaan
mata dan telinga. Bayi mulai mengikuti benda yang bergerak dengan matanya. Ia
juga mulai menggerakkan kepala kesumber suara yang ia dengar. Suara dan penglihatan
bekerja bersama. Ini merupakan suatu tahap penting untuk menumbuhkan
konsep benda.
3. Periode 3 : Reproduksi
kejadian yang menarik (umur 4 – 8 bulan)
Pada
periode ini, seorang bayi mulai menjamah dan memanipulasi objek apapun yang ada
di sekitarnya. Tingkah laku bayi semakin berorientasi pada objek dan kejadian
di luar tubuhnya sendiri. Ia menunjukkan koordinasi antara penglihatan dan rasa
jamah (menyentuh dengan jari). Pada periode ini, seorang bayi juga menciptakan
kembali kejadian-kejadian yang menarik baginya. Ia mencoba menghadirkan dan
mengulang kembali peristiwa yang menyenangkan diri (reaksi sirkuler sekunder).
Piaget mengamati bahwa bila seorang anak dihadapkan pada sebuah benda yang
dikenal, seringkali hanya menunjukkan reaksi singkat dan tidak mau
memperhatikan agak lama. Oleh Piaget, ini diartikan sebagai suatu “pengiaan”
akan arti benda itu seakan ia mengetahuinya.
4. Periode 4 : Koordinasi
Skemata (umur 8 – 12 bulan)
Pada
periode ini, seorang bayi mulai membedakan antara sarana dan hasil tindakannya.
Ia sudah mulai menggunakan sarana untuk mencapai suatu hasil. Sarana-sarana
yang digunakan untuk mencapai tujuan atau hasil diperoleh dari koordinasi
skema-skema yang telah ia ketahui. Bayi mulai mempunyai kemampuan untuk
menyatukan tingkah laku yang sebelumnya telah diperoleh untuk mencapai tujuan
tertentu. Pada periode ini, seorang bayi mulai membentuk konsep tentang
tetapnya (permanensi) suatu benda. Dari kenyataan bahwa dari seorang bayi dapat
mencari benda yang tersembunyi, tampak bahwa ini mulai mempunyaikonsep tentang
ruang.
5. Periode 5 : Eksperimen
(umur 12 – 18 bulan)
Unsur pokok
pada perode ini adalah mulainya anak memperkembangkan cara-cara baru untuk
mencapai tujuan dengan cara mencoba-coba (eksperimen) bila dihadapkan pada
suatu persoalan yang tidak dipecahkan dengan skema yang ada, anak akan mulai
mencoba-coba dengan Trial and Error untuk menemukan cara yang baru guna
memecahkan persoalan tersebut atau dengan kata lain ia mencoba mengembangkan
skema yang baru. Pada periode ini, anak lebih mengamati benda-benda
disekitarnya dan mengamati bagaimana benda-benda di sekitarnya bertingkah laku
dalam situasi yang baru. Menurut Piaget, tingkah anak ini menjadi intelegensi
sewaktu ia menemukan kemampuan untuk memecahkan persoalan yang baru. Pada
periode ini pula, konsep anak akan benda mulai maju dan lengkap. Tentang
keruangan anak mulai mempertimbangkan organisasi perpindahan benda-benda
secara menyeluruh bila benda-benda itu dapat dilihat secara serentak.
6. Periode Refresentasi (umur
18 – 24 bulan)
Periode ini
adalah periode terakhir pada tahap intelegensi sensorimotor. Seorang anak sudah
mulai dapat menemukan cara-cara baru yang tidak hanya berdasarkan rabaan fisis
dan eksternal, tetapi juga dengan koordinasi internal dalam gambarannya. Secara
mental, seorang anak mulai dapat menggambarkan suatu benda dan kejadian, dan
dapat menyelesaikan suatu persoalan dengan gambaran tersebut. Konsep benda pada
tahap ini sudah maju, refresentasi ini membiarkan anak untuk mencari dan
menemukan objek-objek yang tersembunyi. Sedangkan konsep keruangan, anak mulai
sadar akan gerakan suatu benda sehingga dapat mencarinya secara masuk akal bila
benda itu tidak kelihatan lagi.
Karakteristik anak
yang berada pada tahap ini adalah sebagai berikut:
1. Berfikir melalui perbuatan (gerak)
2. Perkembangan fisik yang dapat diamati adalah
gerak-gerak refleks sampai ia dapat
berjalan dan bicara.
3. Belajar mengkoordinasi akal dan geraknya.Cenderung
intuitif egosentris, tidak rasional dan tidak logis.
b. Pra-operasional
(2 – 7 tahun)
(Ciri pokok perkembangannya adalah penggunaan symbol/bahasa tanda dan
konsep intuitif).
Tahap ini terbagi menjadi dua, yakni:
1. Pemikiran
prakonseptual(2-4 tahun)
Pada tahap ini, anak-anak mulai
mengelompokkan benda-benda dalam kelompok tertentu berdasarkan kemiripannya,
tetapi mereka melakukan banyak kesalahan karena konsep mereka. Misalnya: semua
lelaki adalah ayah dan semua perempuan adalah ibu, dan semua mainan adalah
milikku. Menurut Piaget anak pra-operasional bersifat egosentris, misalnya saja
ketika mereka berkomunikasi, mereka akan terus berbicara tanpa mengharapkan
saling mendengarkan atau saling menjawab.
Selain itu, pada tahap ini anak
merepresentasikan sesuatu dengan bahasa, gambar dan permainan khayalan. Anak
biasanya akan mengungkapkan idea atau gagasan melalui bahasa, gambar agar suatu
konsep lebih mudah dipahami atau dipahami.
2. Periode
perkembangan intuitif (4-7 tahun)
Pada tahap ini, anak – anak
memecahkan masalah secara intuitif, bukan berdasarkan kaidah-kaidah
logika.Berikut beberapa ciri yang diungkapkan pada tahap ini, yaitu;
·
Pertimbangan anak
didasarkan pada persepsi pengalaman pribadi, bukan pada penalaran.
·
Anak mengaitkan
pengalaman yang ada pada dunia luar dengan pengalaman pribadinya. Anak mengira
bahwa cara berpikirnya dan pengalamannya dimiliki oleh orang lain. Misalnya:
bila anak melihat gambar terbalik dari arah sisi meja satu, maka ia mengira
temannya yang berhadapan pada sisi lain dari meja akan melihat gambar itu
terbalik pula.
·
Anak mengira bahwa
benda-benda tiruan memiliki sifat-sifat yang sebenarnya. Misalnya: perlakuan
anak terhadap boneka sama dengan anak yang sebenarnya (diberi makan, diajak
berbicara, ditidurkan, dan sebagainya).
·
Anak berpikir bahwa
benda akan berbeda apabila kelihatannya berbeda. Pemikiran anak pada tahap ini
adalah kegagalan mengembangkan konservasi. Konservasi adalah kemampuan untuk
menyadari bahwa jumlah, panjang, substansi atau luas akan tetap sama meski
dipresentasikan kepada anak dalam bentuk yang berbeda-beda.
b. Implikasi
Teori Piaget
Berikut ini adalah implikasi teori
Piaget dalam pembelajaran:
1. Memaklumi akan adanya perbedaan invidual
dalam hal kemajuan perkembangan. Teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh siswa
tumbuh melewati urutan perkembangan yang sama, namun pertumbuhan itu
berlangsung pada kecepatan yang berbeda. Ditambah cara berfikir anak kurang
logis dibanding dengan orang dewasa, maka guru harus
mengerti cara berfikir anak, bukan sebaliknya anak yang beradaptasi dengan
guru.
2. Pendidikan disini bertujuan untuk
mengembangkan pemikiran anak, artinya ketika anak-anak mencoba memecahkan
masalah, penalaran merekalah yang lebih penting daripada jawabannya. Oleh sebab
itu guru penting sekali agar tidak menghukum anak-anak untuk jawaban yang
salah, tetapi sebaliknya menanyakan bagaimana anak itu memberi jawaban yang
salah, dan diberi pengertian tentang kebenarannya atau mengambil
langkah-langkah yang tepat untuk untuk menanggulanginya.
3.
Anak
belajar paling baik dengan menemukan (discovery). Artinya di sini adalah agar
pembelajaran yang berpusat pada anak berlangsung efektif, guru tidak
meninggalkan anak-anak belajar sendiri, tetapi mereka memberi tugas khusus yang
dirancang untuk membimbing para siswa menemukan dan menyelesaikan masalah
sendiri.
2.3
Proses Perkembangan Sosio-Emosional
a.
Teori Piaget
Perkembangan moral ditandai dengan
kemampuan anak untuk memahami aturan, norma dan etika yang berlaku di
masyarakat. Perkembangan moral terlihat dari perilaku moralnya di masyarakat
yang menunjukan kesesuaian dengan nilai dan norma di masyarakat. Perilaku moral
ini banyak dipengaruhi oleh pola asuh orang tua serta perilaku moral
orang-orang disekitarnya. Perkembangan moral ini juga tidak terlepas dari
perkembangan kognitif dan emosi anak.
Menurut Piaget, antara usia 5-12
tahun konsep anak mengenai keadilan sudah berubah. Pengertian yang kaku tentang
benar dan salah yang telah dipelajari dari orang tua menjadi berubah. Piaget
menyatakan bahwa relativisme moral menggantikan moral yang kaku. Misalnya :
bagi anak usia 5 tahun, berbohong adalah hal yang buruk, tetapi bagi anak yang
lebih besar sadar bahwa dalam beberapa situasi, berbohong adalah dibenarkan dan
oleh karenanya berbohong tidak terlalu buruk. Piaget berpedapat bahwa anak yang
lebih muda ditandai dengan moral yang heteronomous sedangkan anak pada usia 10
tahun mereka sudah bergerak ketingkat yang lebih tinggi yang disebut moralitas
autonomus.
Anak mulai mengenal konsep
moral (mengenal benar salah atau baik-buruk) pertama kali dari lingkungan
keluarga. Pada mulanya, mungkin anak tidak mengerti konsep moral ini, tetapi
lambat laun anak akan memahaminya. Usaha menanamkan konsep moral sejak usia
dini (pra sekolah) merupakan hal yang seharusnya, karena informasi yang
diterima anak mengenai benar salah atau baik buruk akan menjadi pedoman pada
tingkah lakunya dikemudian hari.
Pada usia sekolah dasar, anak
sudah dapat mengikuti pertautan atau tuntutan dari orang tua atau lingkungan
sosialnya. Pada akhir usia ini, anak sudah dapat memahami alasan yang mendasari
suatu peraturan. Disamping itu, anak sudah dapat mengasosiasikan setiap bentuk
perilaku dengan konsep benar salah atau baik buruk. Misalnya, dia memandang
atau menilai bahwa perbuatan nakal, berdusta, dan tidak hormat kepada orang tua
merupakan suatu yang salah atau buruk. Sedangkan perbuatan jujur, adil, dan
sikap hormat kepada orang tua dan guru merupakan suatu yang benar atau baik.
b. Teori
Kohlberg
Kohlberg memperluas teori Piaget dan
menyebut tingkat kedua dari perkembangan moral masa ini sebagai tingkat
moralitas dari aturan-aturan dan penyesuaian konvensional. Dalam tahap pertama
dari tingkat ini oleh Kohlberg disebut moralitas anak baik, anak mengikuti
peraturan untuk mengambil hati orang lain dan untuk mempertahankan
hubungan-hubungan yang baik. Dalam tahap yang kedua Kohlberg menyatakan bahwa
bila kelompok sosial menerima peraturan-peraturan yang sesuai bagi semua
anggota kelompok, ia harus menyesuaikan diri dengan peraturan untuk menghidari
penolakan kelompok dan celaan (Hurlock, 1993 : 163).
Kohlberg (Duska dan Wehelan, 1981 :
59-61) menyatakan adanya 6 tahap perkembangan moral. Enam tahap tersebut
terjadi pada tiga tingkatan, yakni tingkatan : (1) prakonvensional (2)
konvensional (3) pasca konvensional. Pada tahap prakonvensional, anak peka
terhadap peraturan-peraturan yang berlatarbelakang budaya dan terhadap
penilaian baik buruk, benar-salah tetapi anak mengartikannya dari sudut akibat
fisik suatu tindakan. Pada tahap konvensional, memenuhi harapan-harapan
keluarga, kelompok atau agama dianggap sebagai suatu yang berharga pada dirinya
sendiri, anak tidak peduli apapun akan akibat-akibat langsung yang tejadi.
Sikap yang nampak pada tahap ini terlihat dari sikap ingin loyal, ingin
menjaga, menunjang dan memberi justifiksi pada ketertiban. Pada tahap pasca
konvensional, ditandai dengan adanya uasha yang jelas untuk mengartikan
nilai-nilai moral dan prinsip-prinsip yang sahih serta dapat dilaksanakan,
lepas dari otoritas kelompok atau orang yang memegang prinsip-prinsip tersebut
terlepas apakah individu yang bersangkutan termasuk kelompok itu atau tidak.
Pengembangan moral termasuk
nilai-nilai agama merupakan hal yang sangat penting dalam membentuk sikap dan
kepribadian anak. Misalnya : mengenalkan anak pada nilai-nilai agama dan
memberikan pengarahan terhadap anak tentang hal-hal yang terpuji dan tercela.
c.
Teori Psikososial
Teori
Erikson tentang
perkembangan manusia dikenal dengan teori perkembangan psiko-sosial. Teori
perkembangan psikososial ini adalah salah satu teori kepribadian terbaik dalam
psikologi. Seperti Sigmund Freud, Erikson percaya bahwa kepribadian berkembang
dalam beberapa tingkatan.
Erikson
memaparkan teorinya melalui konsep polaritas yang bertingkat/bertahapan. Ada 8
(delapan) tingkatan perkembangan yang akan dilalui oleh manusia. Menariknya
bahwa tingkatan ini bukanlah sebuah gradualitas. Manusia dapat naik ketingkat
berikutnya walau ia tidak tuntas pada tingkat sebelumnya. Setiap tingkatan
dalam teori Erikson berhubungan dengan kemampuan dalam bidang kehidupan. Jika
tingkatannya tertangani dengan baik, orang itu akan merasa pandai. Jika
tingkatan itu tidak tertangani dengan baik, orang itu akan tampil dengan
perasaan tidak selaras.
Delapan
tahap/fase perkembangan kepribadian menurut Erikson memiliki ciri utama setiap
tahapnya adalah di satu pihak bersifat biologis dan di lain pihak bersifat
sosial, yang berjalan melalui krisis diantara dua polaritas. Adapun tingkatan
dalam delapan tahap perkembangan yang dilalui oleh setiap manusia menurut
Erikson adalah sebagai berikut :
Tabel
Tahap-tahap Perkembangan Psikososial Erikson
Tahap Psikososial
|
Usia Kira-kira
|
Kepercayaan
vs. ketidakpercayaan (Trust vs. mistrust)
Otonomi vs.
rasa malu dan ragu-ragu (Autonomy vs. shame and doubt)
Inisiatif vs.
rasa bersalah
(Initiative
vs. guilt)
Ketekunan vs.
rasa rendah diri (Industry vs. inferiority)
Identitas dan
kebingungan peran (ego identity vs. role confusion)
Keintiman vs.
isolasi
(Intimacy vs.
isolation)
Generativitas
vs. stagnasi (generativity vs. stagnasi)
Integritas ego
vs. keputusan (Ego Integrity vs, despair)
|
Lahir – 1
tahun
(masa bayi)
1 – 3 tahun
(masa
kanak-kanak)
4 – 5 tahun
(masa
pra-sekolah)
6 – 11 tahun
(masa sekolah
dasar)
12 – 20 tahun
(masa remaja)
20 – 24 tahun
(masa awal
dewasa)
25 – 65 tahun
(masa
pertengahan dewasa)
65 tahun –
mati
(masa akhir
dewasa)
|
SUMBER: Diadaptasi dari Jerry &
Phares (1987)
1.
Trust vs Mistrust (Kepercayaan vs Kecurigaan)
Masa
bayi (infancy) ditandai adanya kecenderungan trust – mistrust. Perilaku bayi
didasari oleh dorongan mempercayai atau tidak mempercayai orang-orang di
sekitarnya. Dia sepenuhnya mempercayai orang tuanya, tetapi orang yang dianggap
asing dia tidak akan mempercayainya. Oleh karena itu kadang-kadang bayi
menangis bila di pangku oleh orang yang tidak dikenalnya. Ia bukan saja tidak
percaya kepada orang-orang yang asing tetapi juga kepada benda asing, tempat
asing, suara asing, perlakuan asing dan sebagainya.
Tahap
ini berlangsung pada masa oral, kira-kira terjadi pada umur 0-1 atau 1 ½ tahun.
Tugas yang harus dijalani pada tahap ini adalah menumbuhkan dan mengembangkan
kepercayaan tanpa harus menekan kemampuan untuk hadirnya suatu
ketidakpercayaan. Kepercayaan ini akan terbina dengan baik apabila dorongan
oralis pada bayi terpuaskan, misalnya untuk tidur dengan tenang, menyantap
makanan dengan nyaman dan tepat waktu, serta dapat membuang kotoron (eliminsi)
dengan sepuasnya. Oleh sebab itu, pada tahap ini ibu memiliki peranan yang
secara kwalitatif sangat menentukan perkembangan kepribadian anaknya yang masih
kecil. Apabila seorang ibu bisa memberikan rasa hangat dan dekat, konsistensi
dan kontinuitas kepada bayi mereka, maka bayi itu akan mengembangkan perasaan
dengan menganggap dunia khususnya dunia sosial sebagai suatu tempat yang aman
untuk didiami, bahwa orang-orang yang ada didalamnya dapat dipercaya dan saling
menyayangi.
Kepuasaan
yang dirasakan oleh seorang bayi terhadap sikap yang diberikan oleh ibunya akan
menimbulkan rasa aman, dicintai, dan terlindungi. Melalui pengalaman dengan
orang dewasa tersebut bayi belajar untuk mengantungkan diri dan percaya kepada
mereka. Hasil dari adanya kepercayaan berupa kemampuan mempercayai lingkungan
dan dirinya serta juga mempercayai kapasitas tubuhnya dalam berespon secara
tepat terhadap lingkungannya.
2.
Otonomi vs Perasaan Malu dan Ragu-ragu
Masa
kanak-kanak awal (early childhood) ditandai adanya kecenderungan autonomy –
shame, doubt. Pada masa ini sampai batas-batas tertentu anak sudah bisa berdiri
sendiri, dalam arti duduk, berdiri, berjalan, bermain, minum dari botol sendiri
tanpa ditolong oleh orang tuanya, tetapi di pihak lain dia telah mulai memiliki
rasa malu dan keraguan dalam berbuat, sehingga seringkali minta pertolongan
atau persetujuan dari orang tuanya.
Tugas
yang harus diselesaikan pada masa ini adalah kemandirian (otonomi) sekaligus
dapat memperkecil perasaan malu dan ragu-ragu. Apabila dalam menjalin suatu
relasi antara anak dan orangtuanya terdapat suatu sikap/tindakan yang baik,
maka dapat menghasilkan suatu kemandirian. Namun, sebaliknya jika orang tua
dalam mengasuh anaknya bersikap salah, maka anak dalam perkembangannya akan
mengalami sikap malu dan ragu-ragu.
Pada
usia ini menurut Erikson bayi mulai belajar untuk mengontrol tubuhnya, sehingga
melalui masa ini akan nampak suatu usaha atau perjuangan anak terhadap
pengalaman-pengalaman baru yang berorientasi pada suatu
tindakan/kegiatan yang dapat menyebabkan adanya sikap untuk mengontrol
diri sendiri dan juga untuk menerima control dari orang lain. Misalnya, saat
anak belajar berjalan, memegang tangan orang lain, memeluk, maupun untuk
menyentuh benda-benda lain.
Di
lain pihak, anak dalam perkembangannya pun dapat menjadi pemalu dan ragu-ragu.
Jikalau orang tua terlalu membatasi ruang gerak/eksplorasi lingkungan dan
kemandirian, sehingga anak akan mudah menyerah karena menganggap dirinya tidak
mampu atau tidak seharusnya bertindak sendirian.
3.
Inisiatif vs Kesalahan
Masa
pra sekolah (Preschool Age) ditandai adanya kecenderungan initiative – guilty.
Pada masa ini anak telah memiliki beberapa kecakapan, dengan
kecakapan-kecakapan tersebut dia terdorong melakukan beberapa kegiatan, tetapi
karena kemampuan anak tersebut masih terbatas adakalanya dia mengalami
kegagalan. Kegagalan-kegagalan tersebut menyebabkan dia memiliki perasaan
bersalah, dan untuk sementara waktu dia tidak mau berinisatif atau berbuat.
Tahap
ketiga ini juga dikatakan sebagai tahap kelamin-lokomotor (genital-locomotor
stage) atau yang biasa disebut tahap bermain. Tahap ini pada suatu periode
tertentu saat anak menginjak usia 3 sampai 5 atau 6 tahun, dan tugas yang harus
diemban seorang anak pada masa ini ialah untuk belajar punya gagasan
(inisiatif) tanpa banyak terlalu melakukan kesalahan. Masa-masa bermain
merupakan masa di mana seorang anak ingin belajar dan mampu belajar terhadap
tantangan dunia luar, serta mempelajari kemampuan-kemampuan baru juga merasa
memiliki tujuan.
Dikarenakan
sikap inisiatif merupakan usaha untuk menjadikan sesuatu yang belum nyata
menjadi nyata, sehingga pada usia ini orang tua dapat mengasuh anaknya dengan
cara mendorong anak untuk mewujudkan gagasan dan ide-idenya. Akan tetapi,
semuanya akan terbalik apabila tujuan dari anak pada masa genital ini mengalami
hambatan karena dapat mengembangkan suatu sifat yang berdampak kurang baik bagi
dirinya yaitu merasa berdosa dan pada klimaksnya mereka seringkali akan merasa
bersalah atau malah akan mengembangkan sikap menyalahkan diri sendiri atas apa
yang mereka rasakan dan lakukan.
4.
Kerajinan vs Inferioritas
Masa
Sekolah (School Age) ditandai adanya kecenderungan industry–inferiority.
Sebagai kelanjutan dari perkembangan tahap sebelumnya, pada masa ini anak
sangat aktif mempelajari apa saja yang ada di lingkungannya. Dorongan untuk
mengatahui dan berbuat terhadap lingkungannya sangat besar, tetapi di pihak
lain karena keterbatasan-keterbatasan kemampuan dan pengetahuannya kadang-kadang
dia menghadapi kesukaran, hambatan bahkan kegagalan. Hambatan dan kegagalan ini
dapat menyebabkan anak merasa rendah diri.
Tahap
keempat ini dikatakan juga sebagai tahap laten yang terjadi pada usia sekolah
dasar antara umur 6 sampai 12 tahun. Salah satu tugas yang diperlukan dalam
tahap ini ialah adalah dengan mengembangkan kemampuan bekerja keras dan
menghindari perasaan rasa rendah diri. Saat anak-anak berada tingkatan ini area
sosialnya bertambah luas dari lingkungan keluarga merambah sampai ke sekolah,
sehingga semua aspek memiliki peran, misalnya orang tua harus selalu mendorong,
guru harus memberi perhatian, teman harus menerima kehadirannya, dan lain
sebagainya.
5.
Identitas vs Kekacauan Identitas
Tahap
kelima merupakan tahap adolesen (remaja), yang dimulai pada saat masa puber dan
berakhir pada usia 18 atau 20 tahun. Masa Remaja (adolescence) ditandai adanya
kecenderungan identity – Identity Confusion. Sebagai persiapan ke arah
kedewasaan didukung pula oleh kemampuan dan kecakapan-kecakapan yang
dimilikinya dia berusaha untuk membentuk dan memperlihatkan identitas diri,
ciri-ciri yang khas dari dirinya. Dorongan membentuk dan memperlihatkan
identitasdiri ini, pada para remaja sering sekali sangat ekstrim dan
berlebihan, sehingga tidak jarang dipandang oleh lingkungannya sebagai
penyimpangan atau kenakalan. Dorongan pembentukan identitas diri yang kuat di
satu pihak, sering diimbangi oleh rasa setia kawan dan toleransi yang besar
terhadap kelompok sebayanya.
Menurut
Erikson masa ini merupakan masa yang mempunyai peranan penting, karena melalui
tahap ini orang harus mencapai tingkat identitas ego, dalam pengertiannya
identitas pribadi berarti mengetahui siapa dirinya dan bagaimana cara seseorang
terjun ke tengah masyarakat. Lingkungan dalam tahap ini semakin luas tidak
hanya berada dalam area keluarga, sekolah namun dengan masyarakat yang ada
dalam lingkungannya.
6. Keintiman vs Isolasi
Tahap
pertama hingga tahap kelima sudah dilalui, maka setiap individu akan memasuki
jenjang berikutnya yaitu pada masa dewasa awal yang berusia sekitar 20-30
tahun. Masa Dewasa Awal (Young adulthood) ditandai adanya kecenderungan
intimacy – isolation. Kalau pada masa sebelumnya, individu memiliki ikatan yang
kuat dengan kelompok sebaya, namun pada masa ini ikatan kelompok sudah mulai
longgar. Mereka sudah mulai selektif, dia membina hubungan yang intim hanya
dengan orang-orang tertentu yang sepaham. Jadi pada tahap ini timbul dorongan
untuk membentuk hubungan yang intim dengan orang-orang tertentu, dan kurang
akrab atau renggang dengan yang lainnya.
Jenjang
ini menurut Erikson adalah ingin mencapai kedekatan dengan orang lain dan
berusaha menghindar dari sikap menyendiri. Periode diperlihatkan dengan adanya
hubungan spesial dengan orang lain yang biasanya disebut dengan istilah pacaran
guna memperlihatkan dan mencapai kelekatan dan kedekatan dengan orang lain.
Erikson menyebut adanya
kecenderungan maladaptif yang muncul dalam periode ini ialah rasa cuek, di mana
seseorang sudah merasa terlalu bebas, sehingga mereka dapat berbuat sesuka hati
tanpa memperdulikan dan merasa tergantung pada segala bentuk hubungan misalnya
dalam hubungan dengan sahabat, tetangga, bahkan dengan orang yang kita
cintai/kekasih sekalipun. Sementara dari segi lain/malignansi Erikson
menyebutnya dengan keterkucilan, yaitu kecenderungan orang untuk
mengisolasi/menutup diri sendiri dari cinta, persahabatan dan masyarakat,
selain itu dapat juga muncul rasa benci dan dendam sebagai bentuk dari
kesendirian dan kesepian yang dirasakan.
Oleh
sebab itu, kecenderungan antara keintiman dan isoalasi harus berjalan dengan
seimbang guna memperoleh nilai yang positif yaitu cinta. Dalam konteks
teorinya, cinta berarti kemampuan untuk mengenyampingkan segala bentuk perbedaan
dan keangkuhan lewat rasa saling membutuhkan. Wilayah cinta yang dimaksudkan di
sini tidak hanya mencakup hubungan dengan kekasih namun juga hubungan dengan
orang tua, tetangga, sahabat, dan lain-lain.
7.
Generativitas vs Stagnasi
Masa
dewasa (dewasa tengah) berada pada posisi ke tujuh, dan ditempati oleh
orang-orang yang berusia sekitar 30 sampai 60 tahun. Masa Dewasa (Adulthood)
ditandai adanya kecenderungan generativity-stagnation. Sesuai dengan namanya
masa dewasa, pada tahap ini individu telah mencapai puncak dari perkembangan
segala kemampuannya. Pengetahuannya cukup luas, kecakapannya cukup banyak,
sehingga perkembangan individu sangat pesat. Meskipun pengetahuan dan kecakapan
individu sangat luas, tetapi dia tidak mungkin dapat menguasai segala macam
ilmu dan kecakapan, sehingga tetap pengetahuan dan kecakapannya terbatas. Untuk
mengerjakan atau mencapai hal– hal tertentu ia mengalami hambatan.
Apabila
pada tahap pertama sampai dengan tahap ke enam terdapat tugas untuk dicapai,
demikian pula pada masa ini dan salah satu tugas untuk dicapai ialah dapat
mengabdikan diri guna keseimbangan antara sifat melahirkan sesuatu
(generativitas) dengan tidak berbuat apa-apa (stagnasi).
8. Integritas vs
Keputusasaan
Tahap
terakhir dalam teorinya Erikson disebut tahap usia senja yang diduduki oleh
orang-orang yang berusia sekitar 60 atau 65 ke atas. Masa hari tua (Senescence)
ditandai adanya kecenderungan ego integrity – despair. Pada masa ini individu
telah memiliki kesatuan atau intregitas pribadi, semua yang telah dikaji dan
didalaminya telah menjadi milik pribadinya. Pribadi yang telah mapan di satu
pihak digoyahkan oleh usianya yang mendekati akhir.
Mungkin
ia masih memiliki beberapa keinginan atau tujuan yang akan dicapainya tetapi
karena faktor usia, hal itu sedikit sekali kemungkinan untuk dapat dicapai.
Dalam situasi ini individu merasa putus asa. Dorongan untuk terus berprestasi
masih ada, tetapi pengikisan kemampuan karena usia seringkali mematahkan
dorongan tersebut, sehingga keputusasaan acapkali menghantuinya.
Dalam
teori Erikson, orang yang sampai pada tahap ini berarti sudah cukup berhasil
melewati tahap-tahap sebelumnya dan yang menjadi tugas pada usia senja ini
adalah integritas dan berupaya menghilangkan putus asa dan kekecewaan.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Perkembangan adalah perubahan-perubahan yang dialami
individu menuju tingkat kedewasaan atau kematangan. Fisik adalah seluruh bagian
dari tubuh manusia dan merupakan sistem organ yang kompleks. Inteligensi
bukanlah suatu yang bersifat kebendaan, melainkan suatu fiksi ilmiah untuk
mendeskripsikan perilaku individu yang
berkaitan dengan kemampuan intelektual.
emosi itu merupakan warna efektif yang menyertai setiap keadaan atau
perilaku individu.
Dalam
Pembahasan Mengenai Perkembangan ini, banyak sekali teori-teori yang
dikemukakan oleh ahli, diantaranya :
1.
Perkembangan
Bahasa (Santrock)
2.
Perkembangan
Kognitif (Piaget)
3.
Perkembangan
Sosio-Emosional
a.
Teori
Piaget
b.
Teori
Kohlberg
c.
Teori
Psikososial (Erik Erikson)
3.2
Saran
1. Sebagai Orangtua kita hendaknya
memperhatikan segala aspek-aspek perkembangan masa anak-anak sampai dengan masa
sekolah.
2. Sebagai calon pendidik anak kita
harus mengembangkan kemampuan dasar anak, diantaranya adalah kemampuan fisik,
intelegensi, emosi, supaya anak bisa mengekspresikan ide-idenya dan supaya
menjadi anak yang terampil.
3. Karena setiap anak berbeda-beda jadi
kita sbagai calon guru harus memahami kemampuan fisik,emosi dll.
Daftar Pustaka
Hadis, F.A.
(1996). Psikologi Perkembangan Anak.
Jakarta : Proyek Pendidikan Tenaga Guru Ditjen Dikti Depdikbud.
Kartono,
Kartini. (1986). Psikologi Anak.
Bandung : Alumni.
Nur Endah, Yessy. 2015. Psikologi Pendidikan Untuk Mahasiswa Umum dan Kesehatan.
Yogyakarta: Parama Publishing.
Komentar
Posting Komentar