Psikologi Pendidikan



Proses Perkembangan Anak

universitas_trunojoyo_madura_HMP_PGSD.png 


                                           






Dosen Pengampu:
Mutmainnah, S.Ag, M.Si

       Disusun oleh:
        Kelompok 1

1.      Fitri Nur Lailiyah                              (150611100122)
2.      Dwi Resty Yuliandari                       (150611100128)
3.      Layliya Mustika Febriana                (150611100130)
4.      Leni Ningtia Safitri                           (150611100145)
5.      Azzahroo Ishaardate                                    (150611100160)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
2016


KATA PENGANTAR
Puji syukur  kami ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah – Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan  tugas  matakuliah Psikologi Pendidikan tentang Standar Perkembangan Anak.
Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, baik dalam penyusunan kata, bahasa, dan sistematika pembahasannya. Sebab kata pepatah “tak ada gading yang tak retak atau dengan pepatah lain tak ada ranting yang tak akan patah”. Oleh sebab itu kami sangat mengharapkan masukan atau kritikan serta saran yang bersifat membangun untuk mendorong  kami menjadi lebih ke depanya.
            Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada pembaca yang sudah berkenan membaca makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat, khususnya bagi kami dan pembaca. Amin..

                                                         

                                                                        Bangkalan,  9  Oktober 2016



Tim Penulis







DAFTAR ISI

Kata Pengantar ..................................................................................................... .... 2
Daftar Isi .............................................................................................................. .... 3

Bab I Pendahuluan
1.1  Latar Belakang ........................................................................................... .... 4
1.2  Rumusan Masalah....................................................................................... .... 5
1.3  Tujuan ........................................................................................................ .... 5

Bab II Pembahasan
2.1  Tahap Perkembangan Bahasa Anak ........................................................... .... 6
2.2  Tahap Perkembangan Kognitif Anak ........................................................ .... 10
2.3  Proses Perkembangan Sosio-Emosional Anak ........................................... .... 15

Bab III Penutup
3.1 Kesimpulan................................................................................................. .... 25
3.2 Saran........................................................................................................... .... 25

Daftar Pustaka ...................................................................................................... .... 26


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah
Perkembangan yang terjadi pada anak meliputi segala aspek kehidupan yang mereka jalani baik bersifat fisik maupun non fisik. Perkembanmgan berarti serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman. Perkembangan adalah suatu proses perubahan, yaitu perubahan dari suatu keadaan menjadi keadaan yang lain, dan ini terjadi pada diri seseorang secara terus-menerus sepanjang hayatnya. Perkembangan meliputi perkembangan fisik dan non fisik. Beberapa teori perkembangan manusia telah mengungkapkan bahwa manusia telah tumbuh dan berkembang dari masa bayi kemasa dewasa melalui beberapa langkah jenjang. Dalam perjalanan hidupnya menjadi dewasa, perkembangan ruhani tidak lepas dari pengaruh keturunan dan pengaruh dunia lingkungan tempat seseorang hidup dan dibesarkan. Aspek-aspek perkembangan meliputi 3 aspek yaitu, perkembangan fisik, intelegensi dan emosi.

1.2  Rumusan Masalah
1.    Bagaimanakah tahap perkembangan bahasa anak?
2.    Bagaimanakah tahap perkembangan kognitif anak?
3.    Bagaimanakah proses perkembangan sosio-emosional anak?
1.3  Tujuan
1.    Mengetahui bagaimanakah tahap perkembangan bahasa anak;
2.    Mengetahui bagaimanakah tahap perkembangan kognitif anak, dan
3.    Mengetahui bagaimanakah proses perkembangan sosio-emosional anak.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1     Tahap Perkembangan Bahasa Anak
a.    Tahap Perkembangan Bahasa Santrock
Bahasa sebagai warisan biologis dan lingkungan yaitu yang pada dasarnya perkembangan bahasa itu dipengaruhi oleh faktor biologis dan faktor lingkungan. Beberapa aspek penting dalam membahas faktor biologis yang menentukan perkembangan bahasa oleh Santrock dan Yussen (1992) menyatakan bahwa anak manusia dilahirkan tidak seperti burung yang datang ke dunia secara biologis sudah siap menyanyikan lagu - lagu sesuai dengan jenisnya. Para ahli percaya bahwa evolusi biologis membentuk manusia ke dalam makhluk linguistik. Berkenaan dengan evolusi biologis, otak, system syaraf, dan sistem vocal berubah selam beratus - ratus ribu tahun. Kemudian bahasa adalah suatu pemerolehan yang selalu baru terjadi. Sedangkan secara ikatan biologis sendiri dinyatakan oleh (Santrock and Yussen, 1992) yang percaya bahwa manusia terikat secara biologis untuk belajar bahasa pada suatu waktu tertentu dengan cara tertentu pula. Ditegaskan pula bahwa anak - anak itu dilahirkan ke dunia dilengkapi dengan alat pemerolehan bahasa atau suatu kemampuan gramatikal yang dibawa sejak lahir yang mendasari semua bahasa manusia.
Tahap Perkembangan Bahasa Santrock
·      0 – 6 bulan Sekedar bersuara, membedahkan huruf hidup, berceloteh .
Sebelum anak-anak mengucapkan kata-kata, mereka mambuat ocehan dengan ucapan: baa, maa, paa, dsb. Mengoceh ini dapat terjadi pada usia sekitar 3 sampai 6 bulan. Untuk dapat melakukan itu dengan lancar sangat ditentukan oleh kematangan biologis, bukan pengukuhan atau kemampuan mendengar. Bahkan kejadian itu terjadi juga pada anak tuna rungu.
·      Pada akhir periode 6- 12 bulan celoteh bertambah dengan mencakup suara dari bahasa ucap, isyarat digunakan untuk mengkomunikasikan suatu obyek
·      12- 18 bulan Kata pertama diucapkan, rata-rata memahami 50 kasakata
·      18 – 24 bulan Kosakata bertambah dan pada anak yang berumur 18 sampai 24 bulan telah mulai mengucapkan pernyataan dengan 2 kata. Selama masa ini mereka sudah mulai merasa penting mengekspresikan konsep - konsep dan menganggap bahwa bahasa memainkan proses penting dalam berkomunikasi dengan orang lain berupa penggunaan kata-kata yang pendek dan tepat untuk berkomunikasi, yang di karakteristikan dengan ungkapan anak-anak.
·      Anak usia 2 tahun perkembangan bahasa anak dimulai dengan ucapan-ucapan dua kata seperti “susu lagi” dan “mobil besar”. Penguasaan anak dalam hal memahami kata-kata sudah lumayan cepat.
·      Anak usia 3 tahun mengembangkan kemampuan bahasa pada hal yang secara fisik tidak ada maksudnya mereka mulai mengimajinasikan suatu kata (mulai mengarang suatu cerita berdasarkan kata-kata yang sudah ia terima), seperti kata meja anak akan mengatakan bahwa ia sekarang sedang berdiri di depan meja padahal ia tidak melakukannya.
·      Anak usia 4 - 5 tahun sudah mulai bisa memahami ucapan orang lain. Anak usia ini juga mulai bisa membedakan cara bicaranya terhadap lawan bicara seperti : ketika berbicara dengan anak berusia 2 tahun, anak usia 4 tahun akan menggunakan kalimat yang pendek.
·      5 - 6 tahun Kosakata mencapai rata-rata 10.000 kata, koordinasi kalimat sederhana.
·      6 - 8 tahun Kosakata terus bertambah cepat, lebih ahli menggunakan sintaksis, keahlihan bercakap meningkat.
·      9 - 11 tahun Definisi kata mencakup sinonim, strategi berbicara terus bertambah.
·      11 - 14 tahun Kosakata bertambah dengan kata-kata abstrak, pemahaman bentuk tata bahasa kompleks, pemahaman fungsi kata dalam kalimat.
·      15 - 20 tahun Dapat memahami karya sastra dewasa.
Perkembangan bahasa individu (Santrock 2010: 75) Sebelum belajar membaca anak belajar menggunakan bahasa untuk berbicara mengenai hal-hal yang tidak ada, mereka belajar mengenai apa itu kata, seperti mereka belajarbagaimana mereka mengenali bunyi dan membahas tentang hal tersebut (Berko Gleason,2003 dalam Santrock 2011 :218) Perkembangan kosakata memilik peranan penting dalam pemahaman membaca (Berninger, 2006 dalam Santrock 2011 :218). Jika anak mengembangkan kosakata yang luas maka langkah selanjutnya untuk membaca yang lebih ringan. Anak yang memulai sekolah dasar dengan bekal kosakata yang tidak banyak akan mengalami kesulitan ketika mereka belajar membaca.
Terdapat dua faktor penting yang mempengaruhi perkembangan bahasa, yaitu sebagai berikut.
a.    Proses jadi matang, dengan perkataan lain anak itu menjadi matang (organ-organ suara/bicara sudah berfungsi) untuk berkata-kata.
b.    Proses belajar, yang berarti bahwa anak yang telah matang berbicara lalu mempelajari bahasa orang lain dengan jalan mengimitasi atau meniru ucapan atau kata-kata yang didengarnya. Kedua proses ini berlangsung sejak masa bayi dan kanak-kanak, sehingga pada usia anak memasuki sekolah dasar, sudah sampai pada tingkat : (1) dapat membuat kalimat yang lebih sempurna, (2) dapat membuat kalimat majemuk, (3) dapat menyusun dan mengajukan pertanyaan.

b.   Periode Perkembangan Bahasa
M. Schaerleakens (1977) membagi fase-fase perkembangan bahasa anak dalam empat periode. Perbedaan fase-fase ini berdasrkana pada cirri-ciri tertentu yang khas pada setiap periode. Adapun periode-periode tersebut sebagai berikut:
·      Periode Prelingual (usia 0 - 1 tahun)
Disebut demikian karena anak belum dapat mengucapkan ‘bahasa ucapan’ seperti yang diucapkan orang dewasa, dalam arti belum mengikuti aturan-aturan bahasa yang berlaku. Pada periode ini anak mempunyai bahasa sendiri, misalnya mengoceh sebagai ganti komunikasi dengan orang lain. Contohnya baba,mama, tata, ayng mungkin merupakan reaksi terhadap situasi tertentu atau orang tertentu sebagai awal suatu simbolisasi karena kematangan proses mental pada usia 9-10 bulan.
Pada periode ini, perkembangan yang menyolok adalah perkembangan comprehension, artinya penggunaan bahasa secara pasif. Misalnya anak mulai bereaksi terhadap pembicaraan orang dengan melihat kepada pembicara dan memberikan reaksi yang berbeda terhadap suara yang ramah, yang lembut, dan yang kasar.
·      Periode Lingual Dini (1 - 2,5 tahun)
Pada periode ini anak mulai mengucapkan perkataannya yang pertama, meskipun belum lengkap. Misalnya: atia (sakit), agi (lagi), itut (ikut), atoh (jatuh). Pada masa ini beberapa kombinasi huruf masih sukar diucapkan, juga beberapa huruf masih sukar untuk diucapkan seperti r, s, k, j, dan t. pertambahan kemahiran berbahasa pada periode ini sangat cepat dan dapat dibagi dalam tiga periode, yaitu:
a.    Periode kalimat satu kata ( holophrare)
Menurut aturan tata bahasa, kalimat satu kata bukanlah suatu kalimat, karena hanya terdiri dari satu kata, tetapi para ahli peneliti perkembangan bahasa anak beranggapan bahwa kata-kata pertama yang diucapkan oleh anak itu mempunyai arti lebih dari hanya sekedar suatu ‘kata’ karena kata itu merupakan ekspresi dari ide-ide yang kompleks, yang pada orang deawasa akan dinyatakan dalam kalimat yang lengkap. Contohnya: ucapan “ibu” dapat berarti: Ibu kesini! Ibu kemana? Ibu tolong saya! Itu baju ibu, Ibu saya lapar, dst.
Pada umunya, kata pertama ini dipergunakan untuk member komentar terhadap obyek atau kejadian di dalam lingkungannya. Dapa berupa perintah, pemberitahuan, penolakan, pertanyaan, dll. Bagaimana menginterpretasikan kata pertama ini tergantung pada konteks waktubkata tersebut di ucapkan, sehingga untuk dapat mengerti apa maksud si anak dengan kata tersebut kita harus melohat atau mengobservasi apa yang sedang dikerjakan anak pada waktu itu. Intonasi juga sangat membantu untuk mempermudah menginterpretasikan apakah si anak bertana, member tahu, atau memerintah.
b.    Periode kalimat dua kata
Dengan bertambahnya perbendaharaan kata yang diperolah dari lingkungan dan juga karena perkembangan kognitif serta fungsi-fungsi lain pada anak, maka terbentuklah pada periode ini kalimat yang terdiri dari dua kata.
Pada umunya, kalimat kedua muncul pertama kali tatkala seorang anak mulai mengerti suatu tema dan mencoba untuk mengekspresikannya. Hal ini terjadi pada sekitar usia 18 bulan, dimana anak menentukan bahwa kombinasi dua kata tersebut mempunyai hubungan tertentu yang mempunya makna berbeda-beda, misalnya makna kepunyaan (baju ibu), makna sifat (hidung pesek), dan lain sebagainya.
c.    Kaimat lebih dari dua kata
Kalau ada lebih dari dua kata di bidang morfologi belum terlihat perkembangan yang nyata, maka pada periode kalimat lebih dari dua kata sudah terlihat kemampuan anak di bidang morfologi. Keterampilan membentuk kalimat bertambah, terlihat dari panjangnay kalimat, kalimat tiga kata, kalaimat empat kata, dan seterusnya. Pada periode ini penggunaan nahasa tidak bersifat egosentris lagi, melainkan anak sudah mempergunakan untuk komunikasi dengan orang lain, sehingga mulailah terjadi suatu hubungan yang sesungguhnya antara anak dengan orang dewasa.
·      Periode Diferensiasi (usia 2,5 - 5 tahun)
Yang menyolok pada periode ini adalah keterampilan anak dalam mengadakan diferensiasi dalam penggunaan kata-kata dan kalimat-kalimat. Secara garis besar ciri umum perkembangan bahasa pada periode ini adalah sebagai berikut:
1)   Pada akhir periode secara garis besar anak telah menguasai bahasa ibunya, artinya hukum-hukum tatabahasa yang pokok dari orang dewasa telah dikuasai.
2)   Perkembangan fonologi boleh dikatakan telah berakhir. Mungkin masih ada kesukaran pengucapan konsonan yang majemuk dan sedikit kompleks.
3)   Perbendaharaan kata sedikit demi sedikit mulai berkembang.Kata benda dan karta kerja mulai lebih terdiferensiasi dalam pemakaiannya, hal ini ditandai dengan penggunaan kata depan, kata gati dank at kerja bantu.
4)   Fungsi bahasa untuk komunikasi benar-benar mulai berfungsi. Persepsi anak dan pengalamannya tentang dunia luar mulai ingin dibaginya dengan orang lain, dengan cara memberikan kritik, bertanya, menyuruh, membri tahu dan lain-lain.
5)   Mulai terjadi perkembangan di bidang morfologi, ditandai dengan munculnya kata jamak, perubahan akhiran, perubahan kata karja, dan lain-lain.
·      Perkembangan bahas sesudah usia 5 tahun
Dalam periode ini ada anak dianggap telah menguasai struktur sintaksis dalam bahasa pertamanya, sehingga ia dapat membuat kalimat lengkap. Jadi sudah tidak terlalu banyak masalah. Menurut Piaget, pada periode ini perkembangan anak di bidang kognisi masih berkembang terus sampai usia 14 tahun, sedangkan peranan kognisi sanga t besar dalam penggunaan bahasa. Dengan masih terus berkembangnya kognisi, dengan sendirinya perkembangan bahasa juga masih berkembang. 

2.2     Tahap Perkembangan Kognitif
a.    Periode Perkembangan Kognitif Piaget
Tahap- Tahap Perkembangan Kognitif
Piaget berpendapat bahwa manusia sama secara genetik dan mempunyai pengalaman yang hampir sama, sehingga mereka dapat diharapkan untuk sungguh-sungguh memperlihatkan keseragaman dalam perkembangan kognitif mereka. Piaget menjelaskan perkembangan tahap-tahap perkembangan kognitif, yaitu sebagai berikut:
a.    Sensorimotor (0- 2 tahun)
(Ciri pokok perkembangannya anak mengalami dunianya melalui gerak dan   inderanya serta mempelajari permanensi obyek)
1.    Periode 1 : Refleks (umur 0 – 1 bulan)
Periode paling awal tahap sensorimotor adalah periode refleks. Ini berkembang sejak bayi lahir sampai sekitar berumur 1 bulan. Pada periode ini, tingkah laku bayi  kebanyak  bersifat  refleks, spontan, tidak disengaja, dan tidak  terbedakan. Tindakan seorang bayi didasarkan pada adanya rangsangan dari luar yang ditanggapi secara refleks.
2.    Periode 2 : Kebiasaan (umur 1 – 4 bulan)
Pada periode perkembangan ini, bayi mulai membentuk kebiasan-kebiasaan pertama. Kebiasaan dibuat dengan mencoba-coba dan mengulang-ngulang suatu tindakan. Refleks-refleks yang dibuat diasimilasikan dengan skema yang telah dimiliki dan menjadi semacam kebiasaan, terlebih dari refleks tersebut menghasilkan sesuatu. Pada periode ini, seorang bayi mulai membedakan benda-benda di dekatnya. Ia mulai mengaakan diferensiasi akan macam-macam benda yang dipegangnya. Pada periode ini pula, koordinasi tindakan bayi mulai berkembang dengan penggunaan mata dan telinga. Bayi mulai mengikuti benda yang bergerak dengan matanya. Ia juga mulai menggerakkan kepala kesumber suara yang ia dengar. Suara dan penglihatan bekerja bersama. Ini merupakan suatu tahap penting untuk menumbuhkan  konsep benda.
3.    Periode 3 : Reproduksi kejadian yang menarik (umur 4 – 8 bulan)
Pada periode ini, seorang bayi mulai menjamah dan memanipulasi objek apapun yang ada di sekitarnya. Tingkah laku bayi semakin berorientasi pada objek dan kejadian di luar tubuhnya sendiri. Ia menunjukkan koordinasi antara penglihatan dan rasa jamah (menyentuh dengan jari). Pada periode ini, seorang bayi juga menciptakan kembali kejadian-kejadian yang menarik baginya. Ia mencoba menghadirkan dan mengulang kembali peristiwa yang menyenangkan diri (reaksi sirkuler sekunder). Piaget mengamati bahwa bila seorang anak dihadapkan pada sebuah benda yang dikenal, seringkali hanya menunjukkan reaksi singkat dan tidak mau memperhatikan agak lama. Oleh Piaget, ini diartikan sebagai suatu “pengiaan” akan arti benda itu seakan ia mengetahuinya.
4.    Periode 4 : Koordinasi Skemata (umur 8 – 12 bulan)
Pada periode ini, seorang bayi mulai membedakan antara sarana dan hasil tindakannya. Ia sudah mulai menggunakan sarana untuk mencapai suatu hasil. Sarana-sarana yang digunakan untuk mencapai tujuan atau hasil diperoleh dari koordinasi skema-skema yang telah ia ketahui. Bayi mulai mempunyai kemampuan untuk menyatukan tingkah laku yang sebelumnya telah diperoleh untuk mencapai tujuan tertentu. Pada periode ini, seorang bayi mulai membentuk konsep tentang tetapnya (permanensi) suatu benda. Dari kenyataan bahwa dari seorang bayi dapat mencari benda yang tersembunyi, tampak bahwa ini mulai mempunyaikonsep tentang ruang.
5.    Periode 5 : Eksperimen (umur 12 – 18 bulan)
Unsur pokok pada perode ini adalah mulainya anak memperkembangkan cara-cara baru untuk mencapai tujuan dengan cara mencoba-coba (eksperimen) bila dihadapkan pada suatu persoalan yang tidak dipecahkan dengan skema yang ada, anak akan mulai mencoba-coba dengan Trial and Error untuk menemukan cara yang baru guna memecahkan persoalan tersebut atau dengan kata lain ia mencoba mengembangkan skema yang baru. Pada periode ini, anak lebih mengamati benda-benda disekitarnya dan mengamati bagaimana benda-benda di sekitarnya bertingkah laku dalam situasi yang baru. Menurut Piaget, tingkah anak ini menjadi intelegensi sewaktu ia menemukan kemampuan untuk memecahkan persoalan yang baru. Pada periode ini pula, konsep anak akan benda mulai maju dan lengkap. Tentang keruangan anak mulai mempertimbangkan organisasi perpindahan benda-benda  secara menyeluruh bila benda-benda itu dapat dilihat secara serentak.
6.    Periode Refresentasi (umur 18 – 24 bulan)
Periode ini adalah periode terakhir pada tahap intelegensi sensorimotor. Seorang anak sudah mulai dapat menemukan cara-cara baru yang tidak hanya berdasarkan rabaan fisis dan eksternal, tetapi juga dengan koordinasi internal dalam gambarannya. Secara mental, seorang anak mulai dapat menggambarkan suatu benda dan kejadian, dan dapat menyelesaikan suatu persoalan dengan gambaran tersebut. Konsep benda pada tahap ini sudah maju, refresentasi ini membiarkan anak untuk mencari dan menemukan objek-objek yang tersembunyi. Sedangkan konsep keruangan, anak mulai sadar akan gerakan suatu benda sehingga dapat mencarinya secara masuk akal bila benda itu tidak kelihatan lagi.
Karakteristik anak  yang berada pada tahap ini adalah sebagai berikut:
1.    Berfikir melalui perbuatan (gerak)
2.    Perkembangan fisik yang dapat diamati adalah gerak-gerak refleks sampai  ia dapat berjalan dan bicara.
3.    Belajar mengkoordinasi akal dan geraknya.Cenderung intuitif egosentris, tidak rasional dan tidak logis.

b.    Pra-operasional (2 – 7 tahun)
(Ciri pokok perkembangannya adalah penggunaan symbol/bahasa tanda dan konsep intuitif).
Tahap ini terbagi menjadi dua, yakni:
1.    Pemikiran prakonseptual(2-4 tahun)
Pada tahap ini, anak-anak mulai mengelompokkan benda-benda dalam kelompok tertentu berdasarkan kemiripannya, tetapi mereka melakukan banyak kesalahan karena konsep mereka. Misalnya: semua lelaki adalah ayah dan semua perempuan adalah ibu, dan semua mainan adalah milikku. Menurut Piaget anak pra-operasional bersifat egosentris, misalnya saja ketika mereka berkomunikasi, mereka akan terus berbicara tanpa mengharapkan saling mendengarkan atau saling menjawab.
Selain itu, pada tahap ini anak merepresentasikan sesuatu dengan bahasa, gambar dan permainan khayalan. Anak biasanya akan mengungkapkan idea atau gagasan melalui bahasa, gambar agar suatu konsep lebih mudah dipahami atau dipahami.
2.    Periode perkembangan intuitif (4-7 tahun)
Pada tahap ini, anak – anak memecahkan masalah secara intuitif, bukan berdasarkan kaidah-kaidah logika.Berikut beberapa ciri yang diungkapkan pada tahap ini, yaitu;
·      Pertimbangan anak didasarkan pada persepsi pengalaman pribadi, bukan pada penalaran.
·      Anak mengaitkan pengalaman yang ada pada dunia luar dengan pengalaman pribadinya. Anak mengira bahwa cara berpikirnya dan pengalamannya dimiliki oleh orang lain. Misalnya: bila anak melihat gambar terbalik dari arah sisi meja satu, maka ia mengira temannya yang berhadapan pada sisi lain dari meja akan melihat gambar itu terbalik pula.
·      Anak mengira bahwa benda-benda tiruan memiliki sifat-sifat yang sebenarnya. Misalnya: perlakuan anak terhadap boneka sama dengan anak yang sebenarnya (diberi makan, diajak berbicara, ditidurkan, dan sebagainya).
·       Anak berpikir bahwa benda akan berbeda apabila kelihatannya berbeda. Pemikiran anak pada tahap ini adalah kegagalan mengembangkan konservasi. Konservasi adalah kemampuan untuk menyadari bahwa jumlah, panjang, substansi atau luas akan tetap sama meski dipresentasikan kepada anak dalam bentuk yang berbeda-beda.

b.   Implikasi Teori Piaget
Berikut ini adalah implikasi teori Piaget dalam pembelajaran:
1.    Memaklumi akan adanya perbedaan invidual dalam hal kemajuan perkembangan. Teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh siswa tumbuh melewati urutan perkembangan yang sama, namun pertumbuhan itu berlangsung pada kecepatan yang berbeda. Ditambah cara berfikir anak kurang logis dibanding dengan orang dewasa, maka guru harus mengerti cara berfikir anak, bukan sebaliknya anak yang beradaptasi dengan guru.
2.    Pendidikan disini bertujuan untuk mengembangkan pemikiran anak, artinya ketika anak-anak mencoba memecahkan masalah, penalaran merekalah yang lebih penting daripada jawabannya. Oleh sebab itu guru penting sekali agar tidak menghukum anak-anak untuk jawaban yang salah, tetapi sebaliknya menanyakan bagaimana anak itu memberi jawaban yang salah, dan diberi pengertian tentang kebenarannya atau mengambil langkah-langkah yang tepat untuk untuk menanggulanginya.
3.    Anak belajar paling baik dengan menemukan (discovery). Artinya di sini adalah agar pembelajaran yang berpusat pada anak berlangsung efektif, guru tidak meninggalkan anak-anak belajar sendiri, tetapi mereka memberi tugas khusus yang dirancang untuk membimbing para siswa menemukan dan menyelesaikan masalah sendiri.

2.3     Proses Perkembangan Sosio-Emosional
a.        Teori Piaget
Perkembangan moral ditandai dengan kemampuan anak untuk memahami aturan, norma dan etika yang berlaku di masyarakat. Perkembangan moral terlihat dari perilaku moralnya di masyarakat yang menunjukan kesesuaian dengan nilai dan norma di masyarakat. Perilaku moral ini banyak dipengaruhi oleh pola asuh orang tua serta perilaku moral orang-orang disekitarnya. Perkembangan moral ini juga tidak terlepas dari perkembangan kognitif dan emosi anak.
Menurut Piaget, antara usia 5-12 tahun konsep anak mengenai keadilan sudah berubah. Pengertian yang kaku tentang benar dan salah yang telah dipelajari dari orang tua menjadi berubah. Piaget menyatakan bahwa relativisme moral menggantikan moral yang kaku. Misalnya : bagi anak usia 5 tahun, berbohong adalah hal yang buruk, tetapi bagi anak yang lebih besar sadar bahwa dalam beberapa situasi, berbohong adalah dibenarkan dan oleh karenanya berbohong tidak terlalu buruk. Piaget berpedapat bahwa anak yang lebih muda ditandai dengan moral yang heteronomous sedangkan anak pada usia 10 tahun mereka sudah bergerak ketingkat yang lebih tinggi yang disebut moralitas autonomus.
Anak mulai mengenal konsep moral (mengenal benar salah atau baik-buruk) pertama kali dari lingkungan keluarga. Pada mulanya, mungkin anak tidak mengerti konsep moral ini, tetapi lambat laun anak akan memahaminya. Usaha menanamkan konsep moral sejak usia dini (pra sekolah) merupakan hal yang seharusnya, karena informasi yang diterima anak mengenai benar salah atau baik buruk akan menjadi pedoman pada tingkah lakunya dikemudian hari.
Pada  usia sekolah dasar, anak sudah dapat mengikuti pertautan atau tuntutan dari orang tua atau lingkungan sosialnya. Pada akhir usia ini, anak sudah dapat memahami alasan yang mendasari suatu peraturan. Disamping itu, anak sudah dapat mengasosiasikan setiap bentuk perilaku dengan konsep benar salah atau baik buruk. Misalnya, dia memandang atau menilai bahwa perbuatan nakal, berdusta, dan tidak hormat kepada orang tua merupakan suatu yang salah atau buruk. Sedangkan perbuatan jujur, adil, dan sikap hormat kepada orang tua dan guru merupakan suatu yang benar atau baik.

b.      Teori Kohlberg
Kohlberg memperluas teori Piaget dan menyebut tingkat kedua dari perkembangan moral masa ini sebagai tingkat moralitas dari aturan-aturan dan penyesuaian konvensional. Dalam tahap pertama dari tingkat ini oleh Kohlberg disebut moralitas anak baik, anak mengikuti peraturan untuk mengambil hati orang lain dan untuk mempertahankan hubungan-hubungan yang baik. Dalam tahap yang kedua Kohlberg menyatakan bahwa bila kelompok sosial menerima peraturan-peraturan yang sesuai bagi semua anggota kelompok, ia harus menyesuaikan diri dengan peraturan untuk menghidari penolakan kelompok dan celaan (Hurlock, 1993 : 163).
Kohlberg (Duska dan Wehelan, 1981 : 59-61) menyatakan adanya 6 tahap perkembangan moral. Enam tahap tersebut terjadi pada tiga tingkatan, yakni tingkatan : (1) prakonvensional (2) konvensional (3) pasca konvensional. Pada tahap prakonvensional, anak peka terhadap peraturan-peraturan yang berlatarbelakang budaya dan terhadap penilaian baik buruk, benar-salah tetapi anak mengartikannya dari sudut akibat fisik suatu tindakan. Pada tahap konvensional, memenuhi harapan-harapan keluarga, kelompok atau agama dianggap sebagai suatu yang berharga pada dirinya sendiri, anak tidak peduli apapun akan akibat-akibat langsung yang tejadi. Sikap yang nampak pada tahap ini terlihat dari sikap ingin loyal, ingin menjaga, menunjang dan memberi justifiksi pada ketertiban. Pada tahap pasca konvensional, ditandai dengan adanya uasha yang jelas untuk mengartikan nilai-nilai moral dan prinsip-prinsip yang sahih serta dapat dilaksanakan, lepas dari otoritas kelompok atau orang yang memegang prinsip-prinsip tersebut terlepas apakah individu yang bersangkutan termasuk kelompok itu atau tidak.
Pengembangan moral termasuk nilai-nilai agama merupakan hal yang sangat penting dalam membentuk sikap dan kepribadian anak. Misalnya : mengenalkan anak pada nilai-nilai agama dan memberikan pengarahan terhadap anak tentang hal-hal yang terpuji dan tercela.

c.         Teori Psikososial
Teori Erikson tentang perkembangan manusia dikenal dengan teori perkembangan psiko-sosial. Teori perkembangan psikososial ini adalah salah satu teori kepribadian terbaik dalam psikologi. Seperti Sigmund Freud, Erikson percaya bahwa kepribadian berkembang dalam beberapa tingkatan.
Erikson memaparkan teorinya melalui konsep polaritas yang bertingkat/bertahapan. Ada 8 (delapan) tingkatan perkembangan yang akan dilalui oleh manusia. Menariknya bahwa tingkatan ini bukanlah sebuah gradualitas. Manusia dapat naik ketingkat berikutnya walau ia tidak tuntas pada tingkat sebelumnya. Setiap tingkatan dalam teori Erikson berhubungan dengan kemampuan dalam bidang kehidupan. Jika tingkatannya tertangani dengan baik, orang itu akan merasa pandai. Jika tingkatan itu tidak tertangani dengan baik, orang itu akan tampil dengan perasaan tidak selaras.
Delapan tahap/fase perkembangan kepribadian menurut Erikson memiliki ciri utama setiap tahapnya adalah di satu pihak bersifat biologis dan di lain pihak bersifat sosial, yang berjalan melalui krisis diantara dua polaritas. Adapun tingkatan dalam delapan tahap perkembangan yang dilalui oleh setiap manusia menurut Erikson adalah sebagai berikut :
Tabel Tahap-tahap Perkembangan Psikososial Erikson
Tahap Psikososial
Usia Kira-kira
Kepercayaan vs. ketidakpercayaan (Trust vs. mistrust)
Otonomi vs. rasa malu dan ragu-ragu (Autonomy vs. shame and doubt)
Inisiatif vs. rasa bersalah
(Initiative vs. guilt)
Ketekunan vs. rasa rendah diri (Industry vs. inferiority)
Identitas dan kebingungan peran (ego identity vs. role confusion)
Keintiman vs. isolasi
(Intimacy vs. isolation)
Generativitas vs. stagnasi (generativity vs. stagnasi)
Integritas ego vs. keputusan (Ego Integrity vs, despair)
Lahir – 1 tahun
(masa bayi)
1 – 3 tahun
(masa kanak-kanak)
4 – 5 tahun
(masa pra-sekolah)
6 – 11 tahun
(masa sekolah dasar)
12 – 20 tahun
(masa remaja)
20 – 24 tahun
(masa awal dewasa)
25 – 65 tahun
(masa pertengahan dewasa)
65 tahun – mati
(masa akhir dewasa)
SUMBER: Diadaptasi dari Jerry & Phares (1987)
1.    Trust vs Mistrust (Kepercayaan vs Kecurigaan)
Masa bayi (infancy) ditandai adanya kecenderungan trust – mistrust. Perilaku bayi didasari oleh dorongan mempercayai atau tidak mempercayai orang-orang di sekitarnya. Dia sepenuhnya mempercayai orang tuanya, tetapi orang yang dianggap asing dia tidak akan mempercayainya. Oleh karena itu kadang-kadang bayi menangis bila di pangku oleh orang yang tidak dikenalnya. Ia bukan saja tidak percaya kepada orang-orang yang asing tetapi juga kepada benda asing, tempat asing, suara asing, perlakuan asing dan sebagainya.
Tahap ini berlangsung pada masa oral, kira-kira terjadi pada umur 0-1 atau 1 ½ tahun. Tugas yang harus dijalani pada tahap ini adalah menumbuhkan dan mengembangkan kepercayaan tanpa harus menekan kemampuan untuk hadirnya suatu ketidakpercayaan. Kepercayaan ini akan terbina dengan baik apabila dorongan oralis pada bayi terpuaskan, misalnya untuk tidur dengan tenang, menyantap makanan dengan nyaman dan tepat waktu, serta dapat membuang kotoron (eliminsi) dengan sepuasnya. Oleh sebab itu, pada tahap ini ibu memiliki peranan yang secara kwalitatif sangat menentukan perkembangan kepribadian anaknya yang masih kecil. Apabila seorang ibu bisa memberikan rasa hangat dan dekat, konsistensi dan kontinuitas kepada bayi mereka, maka bayi itu akan mengembangkan perasaan dengan menganggap dunia khususnya dunia sosial sebagai suatu tempat yang aman untuk didiami, bahwa orang-orang yang ada didalamnya dapat dipercaya dan saling menyayangi.
Kepuasaan yang dirasakan oleh seorang bayi terhadap sikap yang diberikan oleh ibunya akan menimbulkan rasa aman, dicintai, dan terlindungi. Melalui pengalaman dengan orang dewasa tersebut bayi belajar untuk mengantungkan diri dan percaya kepada mereka. Hasil dari adanya kepercayaan berupa kemampuan mempercayai lingkungan dan dirinya serta juga mempercayai kapasitas tubuhnya dalam berespon secara tepat terhadap lingkungannya.
2.    Otonomi vs Perasaan Malu dan Ragu-ragu
Masa kanak-kanak awal (early childhood) ditandai adanya kecenderungan autonomy – shame, doubt. Pada masa ini sampai batas-batas tertentu anak sudah bisa berdiri sendiri, dalam arti duduk, berdiri, berjalan, bermain, minum dari botol sendiri tanpa ditolong oleh orang tuanya, tetapi di pihak lain dia telah mulai memiliki rasa malu dan keraguan dalam berbuat, sehingga seringkali minta pertolongan atau persetujuan dari orang tuanya.
Tugas yang harus diselesaikan pada masa ini adalah kemandirian (otonomi) sekaligus dapat memperkecil perasaan malu dan ragu-ragu. Apabila dalam menjalin suatu relasi antara anak dan orangtuanya terdapat suatu sikap/tindakan yang baik, maka dapat menghasilkan suatu kemandirian. Namun, sebaliknya jika orang tua dalam mengasuh anaknya bersikap salah, maka anak dalam perkembangannya akan mengalami sikap malu dan ragu-ragu.
Pada usia ini menurut Erikson bayi mulai belajar untuk mengontrol tubuhnya, sehingga melalui masa ini akan nampak suatu usaha atau perjuangan anak terhadap pengalaman-pengalaman  baru yang berorientasi pada suatu tindakan/kegiatan  yang dapat menyebabkan adanya sikap untuk mengontrol diri sendiri dan juga untuk menerima control dari orang lain. Misalnya, saat anak belajar berjalan, memegang tangan orang lain, memeluk, maupun untuk menyentuh benda-benda lain.
Di lain pihak, anak dalam perkembangannya pun dapat menjadi pemalu dan ragu-ragu. Jikalau orang tua terlalu membatasi ruang gerak/eksplorasi lingkungan dan kemandirian, sehingga anak akan mudah menyerah karena menganggap dirinya tidak mampu atau tidak seharusnya bertindak sendirian.
3.    Inisiatif vs Kesalahan
Masa pra sekolah (Preschool Age) ditandai adanya kecenderungan initiative – guilty. Pada masa ini anak telah memiliki beberapa kecakapan, dengan kecakapan-kecakapan tersebut dia terdorong melakukan beberapa kegiatan, tetapi karena kemampuan anak tersebut masih terbatas adakalanya dia mengalami kegagalan. Kegagalan-kegagalan tersebut menyebabkan dia memiliki perasaan bersalah, dan untuk sementara waktu dia tidak mau berinisatif atau berbuat.
Tahap ketiga ini juga dikatakan sebagai tahap kelamin-lokomotor (genital-locomotor stage) atau yang biasa disebut tahap bermain. Tahap ini pada suatu periode tertentu saat anak menginjak usia 3 sampai 5 atau 6 tahun, dan tugas yang harus diemban seorang anak pada masa ini ialah untuk belajar punya gagasan (inisiatif) tanpa banyak terlalu melakukan kesalahan. Masa-masa bermain merupakan masa di mana seorang anak ingin belajar dan mampu belajar terhadap tantangan dunia luar, serta mempelajari kemampuan-kemampuan baru juga merasa memiliki tujuan.
Dikarenakan sikap inisiatif merupakan usaha untuk menjadikan sesuatu yang belum nyata menjadi nyata, sehingga pada usia ini orang tua dapat mengasuh anaknya dengan cara mendorong anak untuk mewujudkan gagasan dan ide-idenya. Akan tetapi, semuanya akan terbalik apabila tujuan dari anak pada masa genital ini mengalami hambatan karena dapat mengembangkan suatu sifat yang berdampak kurang baik bagi dirinya yaitu merasa berdosa dan pada klimaksnya mereka seringkali akan merasa bersalah atau malah akan mengembangkan sikap menyalahkan diri sendiri atas apa yang mereka rasakan dan lakukan.
4.    Kerajinan vs Inferioritas
Masa Sekolah (School Age) ditandai adanya kecenderungan industry–inferiority. Sebagai kelanjutan dari perkembangan tahap sebelumnya, pada masa ini anak sangat aktif mempelajari apa saja yang ada di lingkungannya. Dorongan untuk mengatahui dan berbuat terhadap lingkungannya sangat besar, tetapi di pihak lain karena keterbatasan-keterbatasan kemampuan dan pengetahuannya kadang-kadang dia menghadapi kesukaran, hambatan bahkan kegagalan. Hambatan dan kegagalan ini dapat menyebabkan anak merasa rendah diri.
Tahap keempat ini dikatakan juga sebagai tahap laten yang terjadi pada usia sekolah dasar antara umur 6 sampai 12 tahun. Salah satu tugas yang diperlukan dalam tahap ini ialah adalah dengan mengembangkan kemampuan bekerja keras dan menghindari perasaan rasa rendah diri. Saat anak-anak berada tingkatan ini area sosialnya bertambah luas dari lingkungan keluarga merambah sampai ke sekolah, sehingga semua aspek memiliki peran, misalnya orang tua harus selalu mendorong, guru harus memberi perhatian, teman harus menerima kehadirannya, dan lain sebagainya.


5.    Identitas vs Kekacauan Identitas
Tahap kelima merupakan tahap adolesen (remaja), yang dimulai pada saat masa puber dan berakhir pada usia 18 atau 20 tahun. Masa Remaja (adolescence) ditandai adanya kecenderungan identity – Identity Confusion. Sebagai persiapan ke arah kedewasaan didukung pula oleh kemampuan dan kecakapan-kecakapan yang dimilikinya dia berusaha untuk membentuk dan memperlihatkan identitas diri, ciri-ciri yang khas dari dirinya. Dorongan membentuk dan memperlihatkan identitasdiri ini, pada para remaja sering sekali sangat ekstrim dan berlebihan, sehingga tidak jarang dipandang oleh lingkungannya sebagai penyimpangan atau kenakalan. Dorongan pembentukan identitas diri yang kuat di satu pihak, sering diimbangi oleh rasa setia kawan dan toleransi yang besar terhadap kelompok sebayanya.
Menurut Erikson masa ini merupakan masa yang mempunyai peranan penting, karena melalui tahap ini orang harus mencapai tingkat identitas ego, dalam pengertiannya identitas pribadi berarti mengetahui siapa dirinya dan bagaimana cara seseorang terjun ke tengah masyarakat. Lingkungan dalam tahap ini semakin luas tidak hanya berada dalam area keluarga, sekolah namun dengan masyarakat yang ada dalam lingkungannya.
6.    Keintiman vs Isolasi
Tahap pertama hingga tahap kelima sudah dilalui, maka setiap individu akan memasuki jenjang berikutnya yaitu pada masa dewasa awal yang berusia sekitar 20-30 tahun. Masa Dewasa Awal (Young adulthood) ditandai adanya kecenderungan intimacy – isolation. Kalau pada masa sebelumnya, individu memiliki ikatan yang kuat dengan kelompok sebaya, namun pada masa ini ikatan kelompok sudah mulai longgar. Mereka sudah mulai selektif, dia membina hubungan yang intim hanya dengan orang-orang tertentu yang sepaham. Jadi pada tahap ini timbul dorongan untuk membentuk hubungan yang intim dengan orang-orang tertentu, dan kurang akrab atau renggang dengan yang lainnya.
Jenjang ini menurut Erikson adalah ingin mencapai kedekatan dengan orang lain dan berusaha menghindar dari sikap menyendiri. Periode diperlihatkan dengan adanya hubungan spesial dengan orang lain yang biasanya disebut dengan istilah pacaran guna memperlihatkan dan mencapai kelekatan dan kedekatan dengan orang lain. Erikson menyebut adanya kecenderungan maladaptif yang muncul dalam periode ini ialah rasa cuek, di mana seseorang sudah merasa terlalu bebas, sehingga mereka dapat berbuat sesuka hati tanpa memperdulikan dan merasa tergantung pada segala bentuk hubungan misalnya dalam hubungan dengan sahabat, tetangga, bahkan dengan orang yang kita cintai/kekasih sekalipun. Sementara dari segi lain/malignansi Erikson menyebutnya dengan keterkucilan, yaitu kecenderungan orang untuk mengisolasi/menutup diri sendiri dari cinta, persahabatan dan masyarakat, selain itu dapat juga muncul rasa benci dan dendam sebagai bentuk dari kesendirian dan kesepian yang dirasakan.
Oleh sebab itu, kecenderungan antara keintiman dan isoalasi harus berjalan dengan seimbang guna memperoleh nilai yang positif yaitu cinta. Dalam konteks teorinya, cinta berarti kemampuan untuk mengenyampingkan segala bentuk perbedaan dan keangkuhan lewat rasa saling membutuhkan. Wilayah cinta yang dimaksudkan di sini tidak hanya mencakup hubungan dengan kekasih namun juga hubungan dengan orang tua, tetangga, sahabat, dan lain-lain.
7.    Generativitas vs Stagnasi
Masa dewasa (dewasa tengah) berada pada posisi ke tujuh, dan ditempati oleh orang-orang yang berusia sekitar 30 sampai 60 tahun. Masa Dewasa (Adulthood) ditandai adanya kecenderungan generativity-stagnation. Sesuai dengan namanya masa dewasa, pada tahap ini individu telah mencapai puncak dari perkembangan segala kemampuannya. Pengetahuannya cukup luas, kecakapannya cukup banyak, sehingga perkembangan individu sangat pesat. Meskipun pengetahuan dan kecakapan individu sangat luas, tetapi dia tidak mungkin dapat menguasai segala macam ilmu dan kecakapan, sehingga tetap pengetahuan dan kecakapannya terbatas. Untuk mengerjakan atau mencapai hal– hal tertentu ia mengalami hambatan.
Apabila pada tahap pertama sampai dengan tahap ke enam terdapat tugas untuk dicapai, demikian pula pada masa ini dan salah satu tugas untuk dicapai ialah dapat mengabdikan diri guna keseimbangan antara sifat melahirkan sesuatu (generativitas) dengan tidak berbuat apa-apa (stagnasi).
8.    Integritas vs Keputusasaan
Tahap terakhir dalam teorinya Erikson disebut tahap usia senja yang diduduki oleh orang-orang yang berusia sekitar 60 atau 65 ke atas. Masa hari tua (Senescence) ditandai adanya kecenderungan ego integrity – despair. Pada masa ini individu telah memiliki kesatuan atau intregitas pribadi, semua yang telah dikaji dan didalaminya telah menjadi milik pribadinya. Pribadi yang telah mapan di satu pihak digoyahkan oleh usianya yang mendekati akhir.
Mungkin ia masih memiliki beberapa keinginan atau tujuan yang akan dicapainya tetapi karena faktor usia, hal itu sedikit sekali kemungkinan untuk dapat dicapai. Dalam situasi ini individu merasa putus asa. Dorongan untuk terus berprestasi masih ada, tetapi pengikisan kemampuan karena usia seringkali mematahkan dorongan tersebut, sehingga keputusasaan acapkali menghantuinya.
Dalam teori Erikson, orang yang sampai pada tahap ini berarti sudah cukup berhasil melewati tahap-tahap sebelumnya dan yang menjadi tugas pada usia senja ini adalah integritas dan berupaya menghilangkan putus asa dan kekecewaan.






BAB III
PENUTUP
3.1     Kesimpulan
Perkembangan adalah perubahan-perubahan yang dialami individu menuju tingkat kedewasaan atau kematangan. Fisik adalah seluruh bagian dari tubuh manusia dan merupakan sistem organ yang kompleks. Inteligensi bukanlah suatu yang bersifat kebendaan, melainkan suatu fiksi ilmiah untuk mendeskripsikan  perilaku individu yang berkaitan dengan kemampuan intelektual.  emosi itu merupakan warna efektif yang menyertai setiap keadaan atau perilaku individu.
Dalam Pembahasan Mengenai Perkembangan ini, banyak sekali teori-teori yang dikemukakan oleh ahli, diantaranya :
1.      Perkembangan Bahasa (Santrock)
2.      Perkembangan Kognitif (Piaget)
3.      Perkembangan Sosio-Emosional
a.       Teori Piaget
b.      Teori Kohlberg
c.       Teori Psikososial (Erik Erikson)

3.2     Saran

1.      Sebagai Orangtua kita hendaknya memperhatikan segala aspek-aspek perkembangan masa anak-anak sampai dengan masa sekolah.
2.      Sebagai calon pendidik anak kita harus mengembangkan kemampuan dasar anak, diantaranya adalah kemampuan fisik, intelegensi, emosi, supaya anak bisa mengekspresikan ide-idenya dan supaya menjadi anak yang terampil.
3.      Karena setiap anak berbeda-beda jadi kita sbagai calon guru harus memahami kemampuan fisik,emosi dll.



Daftar Pustaka

Hadis, F.A. (1996). Psikologi Perkembangan Anak. Jakarta : Proyek Pendidikan Tenaga Guru Ditjen   Dikti Depdikbud.
Kartono, Kartini. (1986). Psikologi Anak. Bandung : Alumni.
Nur Endah, Yessy. 2015. Psikologi Pendidikan Untuk Mahasiswa Umum dan Kesehatan. Yogyakarta: Parama Publishing.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pembelajaran Matematika SD

Laporan Observasi Pembelajaran IPS SD

Standar Penilaian dalam Perspektif Standar Nasional Pendidikan