Standar Penilaian dalam Perspektif Standar Nasional Pendidikan



universitas_trunojoyo_madura_HMP_PGSD.pngStandar Penilaian dalam Perspektif Standar Nasional Pendidikan




                                           





Dosen Pengampu:
Andika Adinanda Siswoyo, S.Pd., M.Pd

    Disusun oleh:
     Kelompok 1

1.      Fitri Nur Lailiyah                              (150611100122)
2.      Patih Alam Harmahadinata             (150611100126)
3.      Ainur Rohmah                                  (150611100130)
4.      Oki Hayu Pradana                            (150611100141)
5.      Nur Aini                                             (150611100149)





PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
2016


KATA PENGANTAR

Puji syukur  kami ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah – Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan  tugas  matakuliah Evaluasi Pembelajaran tentang Standar Penilaian dalam Perspektif Standar Nasional Pendidikan.
Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, baik dalam penyusunan kata, bahasa, dan sistematika pembahasannya. Sebab kata pepatah “tak ada gading yang tak retak atau dengan pepatah lain tak ada ranting yang tak akan patah”. Oleh sebab itu kami sangat mengharapkan masukan atau kritikan serta saran yang bersifat membangun untuk mendorong  kami menjadi lebih ke depanya.
            Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada pembaca yang sudah berkenan membaca makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat, khususnya bagi kami dan pembaca. Amin..

                                                         

                                                                        Bangkalan,  22  September 2016



Tim Penulis







DAFTAR ISI

Kata Pengantar ..................................................................................................... 2
Daftar Isi .............................................................................................................. 3

Bab I Pendahuluan
1.1  Latar Belakang ........................................................................................... 4
1.2  Rumusan Masalah....................................................................................... 5
1.3  Tujuan ........................................................................................................ 5

Bab II Pembahasan
2.1  Konsep Dasar Pendidikan Nasional........................................................... 6
2.2  Standar Nasional Pendidikan..................................................................... 10
2.3  Landasan Yuridis-Formal Sistem Evaluasi dan Standar Penilaian ............ 13
2.4  Standar Penilaian Menurut BSNP ............................................................. 20
2.5  Standar Penilaian oleh Pendidik ................................................................ 25
2.6  Standar Penilaian oleh Satuan Pendidikan ................................................ 30
2.7  Teknik Penilaian Menurut BSNP ............................................................... 33
2.8  Perkembangan dan Permasalahan Ujian Nasional...................................... 35

Bab III Penutup
3.1 Kesimpulan................................................................................................. 44
3.2 Saran........................................................................................................... 44

Daftar Pustaka ...................................................................................................... 45


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah
Kita semua telah mengetahui bahwa standar nasional pendidikan yang dirumuskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 pada dasarnya merupakan kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Peraturan pemerintah ini lahir dalam rangka melaksanakan ketentuan yang diamanahkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada beberapa pasal dari Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) diamanahkan perlunya standar nasional pendidikan, seperti pada Pasal 35 dijelaskan tentang standar nasional pendidikan yang terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. Pada Pasal 35juga dijelaskan bahwa standar nasional pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan, selanjutnya ditegaskan bahwa pengembangan standar nasional pendidikan serta pemantauan dan pelaporan pencapaiannya secara nasional dilaksanakan oleh suatu badan standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan.
Bila dicermati, kita akan paham bahwa standar penilaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik. Pada Peraturan Pemerintah tersebut diamanatkan tiga jenis penilaian yaitu; (1) penilaian oleh pendidik dilakukan secara berkesinambungan untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil pembelajaran, (2) penilaian oleh satuan pendidikan bertujuan menilai pencapaian standar kompetensi lulusan untuk semua mata pelajaran sesuai programnya sebagai bentuk transparansi, profesional, dan akuntabel lembaga, (3) penilaian oleh pemerintah bertujuan menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu. penilaian oleh pemerintah, dalam pelaksanaannya diserahkan kepada BSNP. hasil ujian nasional digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk pemetaan mutu program, dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, penentuan kelulusan peserta didik, pembinaan, dan pemberian bantuan kepada pihak sekolah dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.
Standar penilaian merupakan salah satu bagian dari Standar Nasional Pendidikan tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebab itu, setiap pendidik harus memahami landasan yuridis maupun filosofis yang melatarbelakangi munculnya standar penilaian, mekanisme, dan prosedur evaluasi. Termasuk dalam hal tersebut, bagaimana pendidik menetapkan indikator keberhasilan pembelajaran dan merancang pengalaman belajar siswa.
1.2  Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah konsep dasar pendidikan nasional?
2.      Bagaimanakah standar nasional pendidikan?
3.      Apakah landasan yuridis-formal sistem evaluasi dan standar penilaian?
4.      Bagaimanakah standar penilaian menurut BSNP?
5.      Bagaimanakah standar penilaian oleh pendidik?
6.      Bagaimanakah standar penilaian oleh satuan pendidikan?
7.      Bagaimanakah teknik penilaian menurut BSNP?
8.      Bagaimanakah perkembangan dan permasalahan ujian nasional?
1.3  Tujuan
1.      Untuk mengetahui konsep dasar pendidikan nasional;
2.      Untuk mengetahui standar nasional pendidikan;
3.      Untuk mengetahui landasan yuridis-formal sistem evaluasi dan standar penilaian;
4.      Untuk mengetahui standar penilaian menurut BSNP;
5.      Untuk mengetahui standar penilaian oleh pendidik;
6.      Untuk mengetahui standar penilaian oleh satuan pendidikan;
7.      Untuk mengetahui teknik penilaian menurut BSNP, dan
8.      Untuk mengetahui perkembangan dan permaslahan ujian nasional.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Konsep Dasar Pendidikan Nasional
Pada awal bab ini akan dibahas terlebih dahulu tentang konsep pendidikan secara umum. Para pakar pendidikan banyak memberikan pengertian tentang pendidikan berdasarkan sudut tinjauannya masing-masing. Menurut Carter V. Good dalam Dictionary of Education, pendidikan itu adalah (1) proses perkembangn kecakapan seseorang dalam bentuk sikap dan perilaku yang berlaku dalam masyarakatnya, (2) proses sosial ketika seseorang dipengaruhi oleh suatu lingkungannya yang terpimpin (sekolah), sehingga dia dapat mencapai kecerdasan sosial dan mengembangkan pribadinya.
Selanjutnya, Freeman Butt dalam bukunya Cultural History of Wistern Education mengemukakan:
1.      Pendidikan adalah kegiatan menerima dan member pengetahuan, sehingga kebudayaan dapat diteruskan dari generasi ke generasi berikutnya.
2.      Pendidikan adalah suatu proses. Melalui proses ini individu diajarkan kesetiaan dan kesedihan untuk mengikuti aturan. Melalui cara ini pikiran manusia dilatih dan dikembangkan.
3.      Pendidikan adalah suatu proses pertumbuhan. Dalam proses ini individu dibantu mengembangkan bakat, kekuatan, kesanggupan dan minatnya.
Pengertian pendidikan juga dapat dipahami dari pendekatan monodisipliner, dimana konsep pendidikan dilihat dalam berbagai disiplin keilmuan, antara lain:
1.      Sosiologi, yaitu melihat pendidikan dari aspek sosial, pendidikan berarti proses sosialisasi individu.
2.      Antropologi, yaitu melihat pendidikan dari aspek budaya, pendidikan berarti sarana pertumbuhan budaya.
3.      Psikologi, yaitu melihat pendidikan dari aspek tingkah laku, pendidikan berarti proses perubahan tingkah laku individu secara optimal.
4.      Ekonomi, yaitu melihat pendidikan sebagai usaha penanaman model insane (human investment).
5.      Politik, yaitu melihat pendidikan sebagai usaha pembinaan kader bangsa.
6.      Agama, yaitu melihat pendidikan sebagai pengembangan kepribadian manusia secara utuh sebagai hamba Tuhan.
Konsep pendidikan monodisipliner mempunyai banyak kelemahan, karena melihat pendidikan hanya dari aspek tertentu saja, sehingga orang tidak memiliki pemahaman yang komprehensif dan utuh tentang pendidikan. Oleh sebab itu, sebaiknya kita memahami konsep pendidikan berdasarkan sistem dengan pendekatan multidisipliner. Sistem adalah suatu totalitas yang terdiri atas berbagai komponen yang melakukan interaksi (saling memengaruhi), interelasi (saling berhubungan), interdependensi ( saling ketergantungan), dan interpenetrasi (saling menerobos) untuk mencapai tujuan tertentu. Komponen mengandung arti bagian-bagian yang mempunyai fungsi tertentu dalam mencapai tujuan sistem. Jika fungsi-fungsi tersebut bekerja dalam pencapaian tujuan sistem, maka disebut proses. Dengan demikian, pengertian pendidikan sebagai suatu sistem adalah suatu keseluruhan yang terdidri atas berbagai komponen pendidikan yang fungsional untuk mengembangkan kepribadian manusia seutuhnya.
Menyimak beberapa pengertian pendidikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah suatu usaha yang dilakukan untuk mengembangkan kemampuan dan kepribadian individu melalui proses atau kegiatan tertentu (pengajaran, bimbingan, atau latihan) serta interaksi individu dengan lingkungannya untuk mencapai manusia seutuhnya (insan kamil). Usaha yang dimaksud adalah suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan secara sadar dan terencana, sedangkan kemampuan berarti kemampuan dasar atau potensi. Asumsinya, setiap manusia mempunyai potensi untuk dapat dididik dan dapat mendidik. Aspek kepribadian menyangkut tentang sikap, bakat, minat, motivasi, nilai-nilai yang melekat pada diri seseorang. Pendidikan juga adalah suatu proses yang didalamnya terdapat berbagai komponen yang saling memengaruhi dan ketergantungan seperti halnya suatu sistem. Sebagaimana dikemukakan P.H. Coombs (1986), bahwa sistem pendidikan terdiri atas 12 komponen utama, yaitu tujuan dan prioritas, peserta didik, manajemen, struktur dan jadwal waktu, isi/materi, guru dan pelaksana, alat dan sumber belajar, fasilitas, tekhnologi, pengawasan mutu, penelitian, dan biaya pendidikan.
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab I pasal 1 ayat (1) dikemukakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Dalam pengertian ini terdapat beberapa implikasi, yaitu:
1.      Pendidikan merupakan usaha sadar artinya, berbagai tindakan yang dilakukan pendidik kepada peserta didik harus dilakukan secara sadar atau sengaja. Kesadaran tersebut hakikatnya bukan hanya tertuju kepada pendidik, tetapi kepada semua pihak yang merasa terpanggil dan berkepentingan dengan pendidikan, baik pemerintah, masyarakat, orang tua maupun pserta didik itu sendiri. Kalau hanya menuntut pendidik saja melakukan usaha sadar, tentu hasil pendidikan tidak akan optimal.
2.      Pendidikan harus dilakukan secara terencana. Artinya, pendidikan harus disusun dalam suatu program. Program pendidikan, antara lain: tujuan pendidikan, kurikulum, pendidik dan tenaga kependidikan, peserta didik, sarana dan prasarana, dana/biaya pendidikan, manajemen pendidikan, masyarakat, dan evaluasi pendidikan.
3.      Pendidikan harus dapat mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran yang kondusif. Untuk itu, pendidik harus menguasai berbagai strategi dan media pembelajaran, teknik berkomunikasi yang bersifat multiarah, dan memanfaatkan sumber daya yang ada secara optimal sehingga pesrta didik tidak merasa jenuh. Untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran yang kondusif, kreatif, dan konstruktif  bukanlah suatu perbuatan yang mudah. Hal ini menuntut kemampuan, kesadaran, dan kesabaran seorang pendidik, apalagi untuk memenuhi kebutuhan setiap peserta didik. Disinilah pentingnya seorang pendidik harus memiliki berbagai kompetensi, seperti kompetensi professional, pedagogik, personal dan sosial.
4.      Pendidik harus melibatkan peserta didik untuk aktif mengembangkan potensi dirinya. Asumsinya, setiap peserta didik merupakan makhluk yang aktif  dan mempunyai potensi dasar untuk ditumbuh-kembangkan. Tugas pendidik adalah mengaktifkan peserta didik, baik secara fisik, mental, intelektual, emosional maupun sosialnya, sehingga potensi dirinya dapat tumbuh dengan lebih baik.
5.      Pendidikan harus mengarahkan peserta didik untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Implikasinya, isi pendidikan/kurikulum harus mencakup semua kegiatan dan pengalaman yang memungkinkan peserta didik untuk menguasai aspek-aspek tersebut.

Dalam pasal 1 ayat (2) Undang-Undang tersebut dikemukakan bahwa “pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada niali-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman”. Selanjutnya, dalam ayat (3) dijelaskan bahwa “sistem pendidikan nasional adalah kesuluruhan komponen pendidikan yang terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidkan nasional”. Sedangkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional diatur dalam Bab II pasal 3 yang berbunyi “ pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
      Untuk menyelenggarakan pendidikan nasional, ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan.
1.      Pendidikan diselenggarakan secara demokratis berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
2.      Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu kesatuan yang sistematik dengan sistem terbuka dan multimakna.
3.      Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
4.      Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
5.      Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.
6.      Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
(UU.No.20/2003 Bab III Pasal 4)

2.2  Standar Nasional Pendidikan
Dalam Undang-Undang No.20/2003 Bab I Pasal 1 ayat (17) dikemukakan bahwa “standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hokum Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Standar nasional pendidikan bukan hanya mengatur tentang standar isi, tetapi juga standar proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan. Standar nasional pendidikan serta pemantauan dan pelaporan pencapaiannya secara nasional dilaksanakan oleh suatu badan standarisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan.
Salah satu upaya pemerintah untuk melaksanakan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, maka ditetapkan Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 1005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Dalam peraturan ini, khususnya pada Bab II Pasal 2 ayat (1), dijelaskan bahwa terdapat delapan standar nasional pendidikan, yaitu:
1.      Standar isi, adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Standar isi memuat kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, dan kalender pendidikan.
2.      Standar proses, adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan. Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Di samping itu, tentunya dalam proses pembelajaran, pendidik harus memberikan keteladanan. Setiap satuan pendidikan harus melakukan perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien.
3.      Standar kompetensi lulusan, adalah klasifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Standar kompetensi lulusan digunakan sebagai pedoman penilaian dalam penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan yang meliputi kompetensi untuk seluruh mata pelajaran atau kelompok mata pelajaran, mata kuliah, atau kelompok mata kuliah.
4.      Standar pendidik dan tenaga kependidikan, adalah kriteria pendidikan prajabatan dan kelayakan fisik maupun mental, serta pendidikan dalam jabatan. Pendidik harus memiliki kualifikasi akademi dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kualifikasi akademik yang dimaksud adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah dan/atau sertifikat keahlian yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Kompetensi sebagai agen pembelajaran meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi professional, dan kompetensi sosial.
5.      Standar sarana dan prasarana, adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan kriteria minimal tentang ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi, dan berekreasi, serta sumber belajar lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi.
6.      Standar pengelolaan, adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota, provinsi, atau nasional agar tercapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan. Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas.
7.      Standar pembiayaan, adalah standar yang mengatur komponen dan besarnya biaya operasi satuan pendidikan yang berlaku selama satu tahun. Pembiayaan pendidikan terdiri atas biaya investasi, biaya operasi, dan biaya personal.
8.      Standar penilaian pendidikan, adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrument penilaian hasil belajar peserta didik.
Delapan standar nasional pendidikan ini menunjukkan bahwa standar penilaian pendidikan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari standar nasional pendidikan, karena itu standar penilaian mempunyai peran dan kedudukan yang sangat strategis dalam pendidikan. Setiap pendidik harus dapat memberikan penilaian yang prima dan memperlakukan peserta didik secara adil, objektif dan bertanggung jawab, tidak terkecuali dalam penilaian pendidikan. Penialaian yang adil adalah penilaian yang tidak membedakan peserta didik anatara yang satu dan lainnya, baik dilihat dari latar belakang sosial, ekonomi, agama, budaya, warna kulit, golongan, bahasa, dan gender.
Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa standar penilaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrument penilaian hasil belajar peserta didik. Artinya, pemerintah sudah mengatur bagaimana tahap-tahap melakukan penilaian, langkah-langkah yang harus ditempuh oleh pendidik, dan alat yang digunakan untuk mengumpulkan informasi.

2.3  Landasan Yurisdis-Formal Sistem Evaluasi dan Standar Penilaian
1.      Undang-Undang No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Dalam Bab I Pasal 1 ayat (21) dikemukakan bahwa evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan. Selanjutnya, dalam Bab XVI tentang Evaluasi, Akreditas dan Sertifikasi, Bagian Kesatu tentang Evaluasi, Pasal 57, dijelaskan:
Ayat (1): evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
      Ayat (2): evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga, dan program pendidikan pada jalur formal dan nonformal untuk semua jenjang, satuan dan jenis pendidikan.
      Dipertegas lagi dalam Pasal 58:
      Ayat (1): evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.
      Ayat (2): evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.

2.      Peraturan Pemerintah R.I.No.19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
Dalam Bab I tentang Ketentuan Umum, Pasal 1, dikemukakan:
      Ayat (11): standar penilaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrument penilaian hasil belajar peserta didik.
Ayat (17): penilaian adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik.
      Ayat (18): evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban pendidikan.
Ayat (19): ulangan adalah proses yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik secara berkelanjutan dalam proses pembelajaran, untuk memantau kemajuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik.
      Ayat (20): ujian adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik sebagai pengakuan prestasi belajar dan/atau penyelesaian dari suatu satuan pendidikan.
      Selanjutnya, dalam Bab IV tentang Standar Proses, Pasal 19 ayat (3), dijelaskan bahwa setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien. Secara teknis, penilaian ini diatur dalam Bab IV Pasal 22, yaitu:
      Ayat (1): penilaian hasil pembelajaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (3) pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menggunakan berbagai teknik penilaian sesuai dengan kompetensi dasar yang harus dikuasai.
      Ayat (2): teknik penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa tes tulis, observasi, tes praktik, dan penugasan perseorangan atau kelompok.
      Ayat (3): untuk mata pelajaran selain kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, teknik penilaian observasi secara individual sekurang-kurangnya dilaksanakan satu kali dalam satu semester.
      Khusus mengenai Standar Penilaian Pendidikan diatur dalam Bab X yang terdiri atas lima bagian, yaitu:
      Bagian Kesatu: Umum, Pasal 63:
      Ayat (1): penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas:
a.       Penilaian hasil belajar oleh pendidik;
b.      Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan, dan
c.       Penilaian hasil belajar oleh pemerintah.
Ayat (2): penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi terdiri atas:
a.       Penilaian hasil belajar oleh pendidik, dan
b.      Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan tinggi.
Ayat (3): penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh masing-masing perguruan tinggi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Kedua: Penilaian Hasil Belajar oleh Pendidik, Pasal 64:
Ayat (1): penilaian hasil belajar oleh pendidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 63 ayat (1) butir (a) dilakukan secara berkesinambungan untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil dalam bentuk ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, dan ulangan kenaikan kelas.
Ayat (2): penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk:
a.       Menilai pencapaian kompetensi peserta didik;
b.      Bahan penyusun laporan kemajuan hasil belajar, dan
c.       Memperbaiki proses pembelajaran.
Ayat (3): Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia serta kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian dilakukan melalui:
a.       Pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan afeksi dan kepribadian peserta didik, serta
b.      Ujian, ulangan, dan/atau penugasan untuk mengukur aspek kognitif peserta didik.
Ayat (4): Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi diukur melalui ulangan, penugasan, dan/atau bentuk lain yang sesuai dengan karakteristik materi yang dinilai.
Ayat (5): Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran estetika dilakukan melalui pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan afeksi dan ekspresi psikomorik peserta didik.
Ayat (6): Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan dilakukan melalui:
a.       Pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan psikomotorik dan afeksi peserta didik, dan
b.      Ulangan, dan/atau penugasan untuk mengukur aspek kognitif peserta didik.
Ayat (7): Untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah, BSNP menerbitkan panduan penilaian untuk:
a.       Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia;
b.      Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian;
c.       Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi;
d.      Kelompok mata pelajaran estetika, dan
e.       Kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan.
Bagian Ketiga: Penilaian Hasil Belajar oleh Satuan Pendidikan, Pasal 65:
Ayat (1): Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 63 ayat (1) butir (b) bertujuan menilai pencapaian standar kompetensi lulusan untuk semua mata pelajaran.
Ayat (2): Penilaian hasil belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk semua mata pelajaran pada kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan merupakan penilaian akhir untuk menentukan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan.
Ayat (3): Penilaian akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempertimbangkan hasil penilaian peserta didik oleh pendidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 64.
Ayat (4): Penilaian hasil belajar sebagimana dimaksud pada ayat (1) untuk semua mata pelajaran pada kelompok ilmu pengetahuan teknologi dilakukan melalui ujian sekolah/madrasah untuk menentukan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan.
Ayat (5): Untuk dapat mengikuti ujian sekolah/madrasah sebagaimana dimaksud pada ayat (4), peserta didik harus mendapatkan nilai yang sama atau lebih besar dari nilai batas ambang kompetensi yang dirumuskan oles BSNP, pada kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, serta kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan.
Ayat (6): Ketentuan mengenai penilaian akhir dan ujian sekolah/madrasah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri berdasarkan usulan BSNP.
Bagian Keempat: Penilaian Hasil Belajar oleh Pemerintah, Pasal 66:
Ayat (1): Penilaian hasil belajar sebagaimana dimaksud dalam pasal 63 ayat (1) butir (c) bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan teknologi dan dilakukan dalam bentuk ujian nasional.
Ayat (2): Ujian nasional dilakukan secara objektif, berkeadilan, dan akuntabel.
Ayat (3): Ujian nasional diadakan sekurang-kurangnya satu kali dan sebanyak-banyaknya dua kali dalam satu tahun pelajaran.
Pada Pasal 67 dikemukakan:
Ayat (1): Pemerintah menugaskan BSNP untuk menyelenggarakan ujian nasional yang diikuti peserta didik pada setiap satuan pendidikan jalaur formal pendidikan dasar dan menengah dan jalur nonformal kesetaraan.
Ayat (2): Dalam penyelenggaraan ujian nasional BSNP bekerja sama dengan instansi terkait di lingkungan Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan satuan pendidikan.
Ayat (3): Ketentuan mengenai ujian nasional diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
Selanjutnya, dijelaskan dalam Pasal 68 bahwa hasil ujian nasional digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk:
a.       Pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan;
b.      Dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya;
c.       Penentu kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan;
d.      Pembinaan dan pemberian bantuan kepada stuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Kemudian dalam Pasal 69 dikemukakan:
Ayat (1): Setiap peserta didik jalur formal pendidikan dasar dan menengah dan jalur pendidikan nonformal kesetaraan berhak mengikuti ujian nasional dan berhak mengulanginya sepanjang belum dinyatakan lulus dari satuan pendidikan.
Ayat (2): Setiap peserta didik sebagimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengikuti satu kali ujian nasional tanpa dipungut biaya.
Ayat (3): Peserta didik pendidikan informal dapat mengikuti ujian nasional setelah memenuhi syarat yang ditetapkan oleh BSNP.
Ayat (4): Peserta ujian nasional memperoleh surat keterangan hasil ujian nasional yang diterbitkan oleh satuan pendidikan penyelenggara ujian nasional.
Adapun jenis mata pelajaran ujian nasional untuk setiapa satuan pendidikan diatur dalam Pasal 70:
Ayat (1): Pada jenjang SD/MI/SDLB atau bentuk lain yang sederajat, ujian nasional mencakup mata pelajaran  Bahasa Indonesia, Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).
Ayat (2): Pada program paket A, ujian nasional mencakup mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), dan Pendidikan Kewarganegaraan.
Ayat (3): Pada jenjang SMP/MTs/SMPLB atau bentuk lain yang sederajat, ujian nasional mencakup mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).
Ayat (4): Pada program paket B, ujian nasional mencakup mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), dan Pendidikan Kewarganegaraan.
Ayat (5): Pada SMA/MA/SMALB atau bentuk lain yang sederajat, ujian nasional mencakup mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan mata pelajaran yang menjadi ciri khas program pendidikan.
Ayat (6): Pada program paket C, ujian nasional mencakup mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan mata pelajaran yang menjadi ciri khas program pendidikan.
Ayat (7): Pada jenjang SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat, ujian nasional mencakup mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan mata pelajaran yang menjadi ciri khas program pendidikan.
Dalam pasal 71 dikemukakan bahwa kriteria kelulusan ujian nasional dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan peraturan Menteri.
Bagian Kelima tentang Kelulusan, Pasal 72:
Ayat (1): Peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah setelah:
a.       Menyelesaikan seluruh program pembelajaran;
b.      Memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaran dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan;
c.       Lulus ujian sekolah/madrasah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, dan
d.      Lulus ujian nasional.
Ayat (2): Kelulusan peserta didik dari satuan pendidikanditetapkan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan sesuai dengan kriteria yang dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan peraturan Menteri.

2.4  Standar Penilaian Menurut Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP)
Dalam UU No 20/2003 Bab IX Pasal 35 ayat (3) dijelaskan bahwa pengembangan standar nasional pendidikan serta pemantauan dan pelaporan pencapaiannya secara nasional dilaksanakan oleh suatu badan standarisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan. Keberadaan badan tersebut diatur dalam PP. 19/2005 Bab XI yang dimulai dari pasal 73, yaitu:
Ayat (1): Dalam rangka pengembangan, pemantauan dan pelaporan pencapaian standar nasional pendidikan, dengan peraturan pemerintah ini dibentuk Badan Standart Nasional Pendidikan (BSNP).
Ayat (2): BSNP berkedudukan di ibukota wilayah negara republic Indonesia yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada mentri.
Ayat (3): dalam menjalankan tugas dan fungsinya, BSNP bersifat mandiri dan professional.
Mengenai keanggotaan BSNP diatur dalam pasal 74, yaitu:
Ayat (1): keanggotaan BSNP berjumlah gasal, paling sedikit 11 (sebelas) orang dan yang paling banyak 15 (lima belas)orang.
Ayat (2): anggota BSNP terdiri atas ahli-ahli dibidang psikometri, evaluasi pendidikan, kurikulum, dan menejemen pendidikan yang memiliki wawasan, pengalaman, dan komitmen untuk peningkatan mutu pendidikan.
Ayat (3): keanggotaan BSNP diangkat dan diberhentikan oleh menteri untuk masa bakti 4( empat) tahun.
Selanjutnya, keorganisasian BSNP diatur dalam pasal 75, yaitu:
Ayat (1): BSNP dipimpin oleh seorang ketua dan seorang sekretaris yang dipilih oleh dan dari anggota atas dasar suara terbanyak.
Ayat (2): untuk membentu kelancaran tugasnya, BSNP didukung oleh sebuah secretariat yang secara ex-officio diketuai oleh pejabat departemen yang ditunjuk oleh menteri.
Ayat (3):  BSNP menunjuk tim ahli yang bersifat  ad-hoc sesuai dengan kebutuhan.
Adapun tugas dan wewenang BSNP diatur dalam pasal, 76 yaitu:
Ayat (1): BSNPbertugas membantu menteri dalam mengembangkan, memantau, dan mengendalikan standar nasional pendidikan.
Ayat (2): stndar yang dikembangkan oleh BSNP berlaku efektif dan mengikat semua satuan pendidikan secara nasionalsetelah ditetapkan dengan peraturan menteri.
Ayat (3): untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) BSNP berwenang:
a.       Mengembangkan standar nasional pendidikan;
b.      Menyelenggarakan ujian nasional;
c.       Memberikan rekomendasi kepada pemerintah dan pemerintah daerah dalam penjaminan dan pengendallian mutu pendidikan, dan
d.      Merumuskan kriteria kelulusan dari satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Ditegaskan dalam Pasal 77 bahwa dalam menjalankan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 76 ayat (3), BSNP didukung dan berkoordinasi dengan departemen yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama, dan dinas yang menangani pendidikan di provinsi/kabupaten/kota.
Dalam rangka menjalankan tugas, fungsi dan wewenangnya, BSNP telah menyusun pedomanpenilaian yang terdiri atas:
1.      Naskah akademik; berisi berbagai kajian kajian teoritis dan hasil-hasil penelitian yang relevan dengan penilaian, baik yang dilakukan oleh pendidik, satuan pendidikan, ataupun pemerintah.
2.      Panduan umum; berisi pedoman dan panduan umum yang berupa rambu-rambu penilaian yang harus oleh semua guru mata pelajaran. Panduan ini juga berlaku untuk semua mata pelajaran.
3.      Panduan khusus; berisi rambu-rambu penilaian yang harus dilakukan guru pada kelompok mata pelajaran tertentu alam menyusun kisi-kisi penilaian yang menyatu dengan rencana pelaksanaan pembelajaran, kisi-kisi untuk ulangan akhir semester, cara menentukan skor akhir dan kriteria dari peserta didik yang dapat dikualifikasikan “baik” dan dapat dinyatakan luus pada kelompok mata pelajaran tertentu. Panduan khusus ini terdiri atas 5 seri, yaitu:
a.       Panduan penilaian kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia;
b.      Panduan penilaian kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian;
c.       Panduan penilaian kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi;
d.      Panduan penilaian kelompok mata pelajaran estetika, dan
e.       Panduan penilaian kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan.
Setiap seri panduan khusus kelompok mata pelajaran berisi rambu-rambu penilaian yang harus dilakukan oleh gurukelompok mata pelajaran dalam menyusun kisi-kisi penilaian yang menyatu dengan rencana pelaksanaan pembelajaran, kisi-kisi untuk ulangan akhir semester, cara menentukan skor akhir dan kriteria dari peserta didik yang dapat dikualifikasikan “baik” dan dapat dinyatakan lulus pada kelompok mata pelajaran tertentu.
Menurut BSNP penilaian adalah prosedur yang digunakan untuk mendapatkan informasi tentang prestasi atau kinerja peserta didik. Hasil penilaian digunakan untuk melakukan evaluas, yaitu pengambilan keputusan terhadap ketuntasan belajar peserta didik dan keefektivitasan proses pembelajaran. Informasi tentang prestasi dan kinerja peserta didik tersebut merupakan hasil yang diperoleh melalui kegiatan penilaian, baik dengan pengukuran maupun nonpengukuran. Dengan kata lain, penilaian adalah proses pengukuran dan nonpengukuran untuk memperoleh data tentang karakteristik peserta didik dengan aturan tertentu. Dari hasil pengukuran akan selalu diperoleh angka-angka atau data numeric (kuantitatif), sedangkan dari hasil nonpengukuran akan diperoleh data kata-kata (kualitatif). Informasi tersebut dapat digunakan oleh pendidik untuk berbagai keperluan pembelajaran, seperti menilai kompetensi ppeserta didik, bahan penyusunan laporan hasil belajar, dan memperbaiki proses pembelajaran. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penilaian pendidikan adalah proses rangkaian kegiatan untuk menganalisis dan menafsirkan data tentang proses dan hasil belajar peserta didik yang dilaksanakan secara sistematis dan berkesinambungan, sehingga hasil penilaian tersebut dapat menjadi informasi yang bermakna dalam pengambilan keputusan.
BSNP mengemukakan  prinsip-prinsip umum penilaian hasil belajar sebagai berikut;
1.      Mendidik, artinya proses penilaian hasil belajar harus mampu memberikan sumbangan positif pada peningkatan pencapaian hasil belajar peserta didik. Hasil penilaian harus dapat memberikan umpan balik dan motivasi kepada peserta didik untuk lebih giat belajar.
2.      Terbuka atau transparan, prosedur penilaian, kriteria penilaian ataupun dasar pengambilan keputusan harus disampaikan secara transparan dan diketahui oleh pihak-pihak terkait secara objektif.
3.      Menyeluruh, penilaian hasil belajar yang dilakukan harus meliputi berbagai aspek kompetensi yang akan dinilai dan terdiri atas ranah kognitif, afektif, dan psikomotor.
4.      Terpadu dengan pembelajaran, dalam melakukan penilaian kegiatan pembelajaran harus mempertimbangkan kognitif, afektif, dan psikomotor, sehingga penilaian tidak hanya dilakukan setelah siswa menyelesaikan pokok bahasan tertentu, tetapi juga dalam proses pembelajaran.
5.      Objektif, proses penilan yang dilakukan harus meminimalkan pengaruh-pengaruh atau pertimbangan subjektif dari penilai.
6.      Sistematis, penilaian harus dilakukan secara terencana dan bertahap secara berkelanjutan untuk dapat memperoleh gambaran tentang perkembangan belajar peserta didik.
7.      Berkesinambungan, penilaian harus dilakukan secara terus menerus sepanjang rentang waktu pembelajaran.
8.      Adil, dalam proses penilaian tidak ada peserta didik yang diuntungkan atau dirugikan berdasarkan latar belakang social, ekonomi, agama, budaya, bahasa, suku bangsa, warna kulit, dan gender.
9.      Pelaksanaan penilain menggunakan acuan kriteria, dalam penilain harus ada kriteria tertentu untuk menentukan kelulusan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Ditegaskan oleh BSNP bahwa dalam proses penilaian perlu diperhatikan prinsip-prinsip khusus sebagai berikut:
1.      Penilaian ditunjukkan untuk mengukur encapaian kompetensi. Untuk itu harus dipahami bahwa proses penilaian merupakan bagian integral dari kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh pendidik untuk mengetahui tingkat pencapaian standart kompetensi lulusan.
2.      Penilaian menggunakan acuan kriteria, yaitu keptusan diambil berdasarkan apa yang seharusnya dapat dilakukan oleh peserta didik setelah mengikuti proses pembelajaran. Sesuiai dengan penerapan kurikulum berbasis kompetensi, penilaian yang dilakukan harus didasarkan pada acuan kriterium, yaitu membandingkan hasil yang telah dicapai peserta didik dengan kriteria yang telah ditetapkan.
3.      Penilaian dilakukan secara keseluruhan dan berkelanjutan. Penilaian oleh pendidik bukan merupakan bagian terpisah dari proses pembelajaran, sehingga proses penilaian dilakukan sepanjang rentang proses pembelajaran. Apabila peserta didik telah mencapai standart, maka dapat dinyatakan lulus dalam mata pelajaran tertentu, tetapi bila belum mencapai standar , maka harus mengikuti pengajaran remidi sampai dapat mencapai standart kompetensi minimal yang dipersyaratkan.
4.      Hasil penilaian digunakan untuk menentukan tindak lanjut. Tindakan lanjutan dari penilaian dapat berupa perbaikan proses pembelajaran, program remidi bagi peserta didik yang tingkat pencapaian hasil belajarnya berada di bawah kriteria ketuntasan, dan program pengayaan bagi peserta didik yang telah mencapai kriteria ketuntasan.
5.      Penilaian harus sesuai dengan pengalaman belajar yang ditempuh dengan proses pembelajaran. Hal ini terkait erta dengan pemahaman bahwa penilaian tidak dipisahkan dari kegiatan pembelajaran secara keseluruhan.

2.5  Standar Penilaian oleh Pendidik
Menurut BSNP, standar penilaian oleh pendidik mencakup standar umum, standar perencanaan, standar pelaksanaan, standar pengolahan dan pelaporan hasil penilaian serta standar pemanfaatan hasil penilaian.
1.      Standar Umum Penilaian
Standar umum penilaian adalah aturan main dari aspek-aspek umum dalam pelaksanaan penilaian. Untuk melakukan penilaian, pendidik harus selalu mengacu pada standar umum penilaian. BSNP menjabarkan standar umum penilaian ini dalam prinsip-prinsip sebagai berikut:
a.       Pemilihan teknik penilaian disesuaikan dengan karakteristik mata pelajaran serta jenis informasi yang ingin diperoleh dari peserta didik.
b.      Informasi yang dihimpun mencakup ranah-ranah yang sesuai dengan standar isi dan standar kompetensi kelulusan.
c.       Informasi mengenai perkembangan perilaku peserta didik dilakukan secara berkala pada kelompok mata pelajaran masing-masing.
d.      Pendidik harus selalu mencatat perilaku peserta didik yang menonjol. Baik yang bersifat positif maupun negative dalam buku catatan perilaku.
e.       Melakukan sekurang-kurangnya tiga kali ulangan harian menjelang ulangan tengah semester, dan tiga kali menjelang ujian akhir semester.
f.       Pendidik harus menggunakan teknik penilaian yang bervariasi sesuai dengan kebutuhan.
g.      Pendidik harus selalu memeriksa dan memberi balikan kepada pesserta didik atas hasil kerjanya sebelum memberikan tugas lanjutan.
h.      Pendidik harus memiliki catatan kumulatif tentang hasil penilaian untuk setiap peserta didik yang berada di bawah tanggung jawabnya. Pendidik harus pula mencatat semua kinerja peserta didik untuk menentukan pencapaian kompetensi peserta didik.
i.        Pendidik melakukan ulangan tengah dan akhir semester untuk menilai penguasaan kompetensi  sesuai dengan tuntutan dalam standar kompetensi (SK) dan standar lulusan (SL).
j.        Pendidik yang diberi tugas menangani pengembangan diri harus melaporkan kegiatan peserta didik kepada wali kelas untuk dicantumkan jenis kegiatan pengembangan diri pada buku laporan pendidikan.
k.      Pendidik menjaga kerahasiaan pribadi peserta didik dan tidak disampaikan kepada pihak lain tanpa seizing yang bersangkutan maupun orang tua/wali mulid.

2.      Standar Perencanaan Penilaian
Standar perencanaan penilaian oleh pendidik merupakan prinsip-prinsip yang harus dipedomani bagi pendidik dalam melakukan perencanaan penilaian. BSNP menjabarkannya menjadi tujuh prinsip sebagai berikut:
a.       Pendidik harus membuat rencana penilaian secara terpadu dengan silabus dan rencana pembelajarannya.perencanaan penilaian setidak-tidaknya meliputi komponen yang akan dinilai, teknik yang akan digunakan serta kriteria pencapaian kompetensi.
b.      Pendidikan harus mengembangkan kriteria pencapaian kompetensi dasar (KD) sebagai dasar untuk penilaian.
c.       Pendidik menentukan teknik penilaian dan instrument penilainnya sesuai dengan indicator pencapaian KD.
d.      Pendidik harus menginformasikan seawal mungkin mungkin kepada peserta didik tentang aspek-aspek yang dinilai dan kriteria pencapaiannya.
e.       Pendidik menuangkan seluruh komponen penilaian ke dalam kisi-kisi penilaian.
f.       Pendidik membuat instrument berdasarkan kisi-kisi yang telah dibuat dan dilengkapi dengan pedoman penskoran sesuai dengan teknik penilaian yang digunakan.
g.      Pendidik menggunakan acuan kriteria dalam menentukan nilai peserta didik.

3.      Standar Pelaksanaan Penilaian
Dalam pedoman umum penilaian yang diusun oleh BSNP, standar pelaksanaan penilaian oleh pendidik meliputi:
a.       Pendidik melakukan kegiatan penilaian sesuai dengan rencana penilaian yang telah disusun di awal kegiatan pembelajaran.
b.      Pendidik menganalisis kualitas instrument dengan mengacu pada persyaratan instrument serta menggunakan acuan kriteria.
c.       Pendidik menjamin pelaksanaan ulangan dan ujian yang bebas dari kemungkinan terjadinya tindak kecurangan.
d.      Pendidik memeriksa pekerjaan peserta didik dan memberikan umpan balik dan komentar yang bersifat mendidik.

4.      Standar Pengolahan dan Pelaporan Hasil Penilaian
Dalam pedoman umum penilaian yang disusun oleh BSNP, standar pengolahan danpelaporan hasil penilaian oleh pendidik meliputi:
a.       Pemberian skor untuk setiap komponen yang dinilai.
b.      Penggabungan skor yang diperoleh dari berbagai teknik dengan bobot tertentu sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan.
c.       Penentuan satu nilai dalam bentuk angka untuk setiap mata pelajaran, serta menyampaikan kepada wali kelas untuk ditulis dalam buku laporan pendidikan masing-masing peserta didik.
d.      Pendidik menulis deskripsi naratif tentang akhlak mulia, kepribadian, dan potensi peserta didik yang disampaikan kepada wali kelas.
e.       Pendidik bersama wali kelas menyampaikan hasil penilaiannya dalam rapat dewan guru untuk menentukan kenaikan kelas.
f.       Pendidik bersama wali kelas menyampaikan hasil penilaian kepada rapat dewan guru untuk menentukan kelulusan peserta didik pada akhir satuan pendidikan dengan mengacu pada persyaratan kelulusan satuan pendidikan.
g.      pendidik bersama wali kelas menyampaikan hasil penilaiannya kepada orang tua/wali peserta didik.

5.      Standar Pemanfaatan Hasil Penilaian
Sesuai dengan pedoman umum penilaian yang dikeluarkan oleh BNSP, ada lima standar pemanfaatan hasil penilaian, yaitu:
a.       Pendidik mengklasifikasikan peserta didik berdasar tingkat ketuntasan pencapaian Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD).
b.      Pendidik menyampaikan balikan kepada peserta didik tentang tingkat capaian hasil belajar pada setiap KD disertai dengan rekomendasi tindak lanjut yang harus dilakukan.
c.       Bagi peserta didik yang belum mencapai standar kelulusan, pendidik harus melakukan pembelajaran remedial agar setiap peserta didik dapat mencapai standar ketuntasan yang dipersyaratkan.
d.      Kepada peserta didik yang telah mencapai standar ketuntasan yang dipersyaratkan dan dianggap memiliki keunggulan, pendidik dapat memberikan layanan pengayaan.
e.       Pendidik menggunakan hasil penilaian untuk mengevaluasi efektivitas kegiatan pembelajaran dan merencanakan berbagai upaya tindak lanjut.
Selanjutnya, mengenai tujuan penilaian hasil belajar oleh pendidik telah disinggung PP.19/2005 pasal 64 yang menyatakan bahwa penilaian hasil belajar oleh pendidik diarahkan untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil pembelajaran. Secara terperinci dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.      Menilai pencapaian kompetensi peserta didik. Penilaian yang dilakukan oleh pendidik ini harus berbasis kompetensi, terencana, terpadu, menyeluruh, dan berkesinambungan, sehingga diharapkan pendidik dapat mengetahui tingkat kompetensi yang dicapai oleh peserta didik, meningkatkan motivasi belajar, dan mampu mengantarkan peserta didik mencapai kompetensi minimal yang telah ditentukan.
2.      Sebagai penyusunan laporan hasil belajar. Melalui proses penilaian yang menyeluruh dan berkesinambungan, pendidik dapat memberikan skor untuk setiap komponen yang dinilai, menggabungkannya, dan menentukan satu nilai dalam bentuk angka untuk setiap mata pelajaran, kemudian bersama wali kelas menyampaikan hasil penilaian tersebut kepada dewan guru maupun orang tua dan pihak-pihak yang berkepentingan.
3.      Memperbaiki proses pembelajaran. Pembelajaran pada hakikatnya merupakan proses komunikasi yang bersifat multiarah antara pendidik dan peserta didik dengan memanfaatkan sumber-sumber belajar. Sebagai suatu proses, di dalam pembelajaran tertentu melibatkan berbagai komponen yang saling berinteraksi dan ketergantungan. Hasil penilaian diharapkan dapat dijadikan acuan untuk memperbaiki semua komponen pembelajarn yang terlibat sehingga kualitas proses pembelajaran dapat terus ditingkatkan. Hal ini sejalan dengan salah stu fungsi penilaian itu sendiri, yaitu fungsi formatif.
4.      Membantu meningkatkan kompetensi pendidik dalam mengajar dan membantu peserta didik mencapai perkembangan optimal dalam proses dan hasil pembelajaran. Hasil penilaian bukan hanya untuk mengetahui tingkat penguasaan kompetensi peserta didik, tetapi juga sebagai feedback untuk meningkatkan kompetensi pendidik dalam mengajar. Kegiatan penilaian harus dipandang sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem pembelajaran secara menyeluruh dengan menggunakan berbagai teknik dan bentuk penilaian serta mengacu pada pendekatan penilaian berbasis kelas.
5.      Penilaian berbasis kelas merupakan salah satu pilar dari kurikulum berbasis kompetensi. Penilaian berbasis kelas adalah suatu proses pengumpulan dan pengguanaan informasi oleh guru untuk membantu memberikan nilai terhadap proses dan hasil belajar peserta didik berdasarkan tahapan kemajuan belajarnya, sehingga akan diperoleh profil kemampuan peserta didik sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan dalam kurikulum. Salah satu faktor yang memengaruhi efektivitas pembelajaran adalah penilaian berbasis kelas. Untuk itu, apapun tindakan gurur di dalam kelas harus diarahkan untuk membantu peserta didik melakukan perubahan tingkah laku untuk mencapai kompetensi setiap mata pelajaran. Dengan kata lain, manfaat penilaian bukan hanya untuk menentukan nilai peserta didik yang dituangkan dalam buku rapor atau hal-hal yang bersifat administrative saja, tetapi juga membantu peserta didik dan orang tua dalam memahami perkembangan belajar peserta didik.

2.6  Standar Penilaian oleh Satuan Pendidikan
Menurut BSNP ada dua standar pokok yang harus diperhatikan dalam penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan, yaitu:
1.      Standar penentuan kenaikan kelas. Standar ini terdiri atas tiga hal pokok, yaitu:
a.       Pada akhir tahun pelajaran, satuan pendidikan menyelenggarakan ulangan kenaikan kelas.
b.      Satuan pendidikan menetapkan Standar Ketuntasan Belajar Minimal (SKBM) pada setiap mata pelajaran. SKBM tersebut harus ditingkatkan secara berencana dan berkala.
c.       Satuan pendidikan menyelanggarakan rapat Dewan pendidikan untuk menentukan kenaikan kelas setiap peserta didik.
2.      Standar penentuan kelulusan
a.       Pada akhir jenjang pendidikan, satuan pendidikan menyelenggarakan ujian sekolah pada kelompok mata pelajaran IPTEKS.
b.      Satuan pendidikan menyelenggarakan rapat dewan pendidikan untuk menentukan nilai akhir peserta didik pada:
1)      Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia;
2)      Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian;
3)      Kelompok mata pelajaran estetika, dan
4)      Kelompok mata pelajaran jasmani olahraga dan kesehatan untuk menentukan kelulusan.
c.       Satuan pendidikan menentukan kelulusan peserta didik berdasarkan kriteria kelulusan yang telah ditetapkan dalam Peraturan  Pemerintah No.19/2005 pasal 72 ayat (1) yang menyatakan bahwa peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikn pada pendidikan dasar dan menengah setelah:
1)      Menyelesaikan seluruh program pembelajaran;
2)      Memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan;
3)      Lulus ujian sekolah/madrasah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, dan
4)      Lulus ujian nasional.
Dalam hal penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan, BSNP menegemukakan ada dua sistem yang dapat dilakukan oleh sekolah untuk mempromosikan peserta didiknya ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi, yaitu:
1.      Sistem kredit atau bahan belajar, yaitu sistem yang tidak mengenal kelas. Dalam hal ini peserta didik dapat menyelesaikan program belajarnya sesuai dengan kemampuan individual. Melalui sistem ini setiap peserta didik dapat menyelesaikan dan memilih program belajarnya dengan kecepatan masing-masing. Hal ini berdasarkan pemikiran bahwa ada peserta didik yang dapat menyelesaikan beban belajar lebih cepat karena memiliki kemampuan dan kemauan yang tinggi, tetapi ada juga peserta didik yang belajar lebih lambat sehingga membutuhkan waktu lebih lama.
2.      Sistem kenaikan kelas (grade) adalah sistem yang program belajar peserta didiknya terstruktur dalam paket-paket kelas. Dalam sistem ini dua tradisi kenaikan kelas yang dikembangkan, yaitu kenaikan kelas secara otomatis dan sistem kenaikan kelas. Di Indonesia, pada umumnya masih menggunakan sistem kenaikan kelas dengan kriteria tertentu.
Sistem kenaikan kelas dengan kriteria tertentu ini dapat dibedakan antar peserta didik yang sudah menguasai kompetensi minimal yang dipersyaratkan dengan peserta didik yang belum menguasai kompetensi minimal sehingga harus tinggal kelas. Untuk itu, bagi peserta didik yang belum menguasai kompetensi minimal dapat diberikan tindakan atau treatment melalui tiga pendekatan. Pertama, mengulang kelas dan belajar bersama-sama dengan teman-teman yang baru naik kelas dari kelas di bawahnya. Kedua, bias naik kelas, tetapi harus mengulang mata pelajaran yang belum dikuasai. Ketiga, mengikuti pembelajaran remedial pada beberapa mata pelajaran sebelum peserta didik dinyatakan naik kelas.
Dalam panduan penilaian BSNP, dijelaskan bahwa secara teoretik sistem kenaikan kelas semacam ini dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan, yaitu:
1.      Menggunakan kriteria untuk dapat membedakan antara peserta didik yang sudah dapat mencapai standar kemampuan minimal dengan peserta didik yang belum mencapai standar kemampuan minimal. Melalui pendekatan ini dapat mengakibatkan meningkatnya angka mengulang bahkan angka putus sekolah, sehingga banyak sekolah memilih cara dengan menaikkan nilai peserta didik untuk memenuhi standar kemampuan minimal yang ditetapkan. Meskipun demikian, ada juga sekolah yang menempuh cara lain, yaitu menurunkan indicator pencapaian kompetensi dasar dengan menurutkan tingkat kesulitan soal, sehingga semua peserta didik secara semua dianggap telah mencapai standar minimal.
2.      Menerapkan prinsip kenaikan kelas secara otomatis. Setiap peserta didik dapat naik kelas secara otomatis pada setiap akhir tahun pelajaran dengan predikat-predikat tertentu. Cara ini sangat riskan dalam pengendalian mutu pendidikan, apalagi bila satuan pendidikan belum menerapkan penjaminan mutu pada setiap tahap kegiatannya termasuk dalam proses pembelajaran.
3.      Menggunakan bentuk perpaduan dari dua pendekatan tersebut. Artinya, peserta didik pada prinsipnya bias naik kelas secara otomatis pada setiap akhir tahun pelajran, tetapi harus mengulang atau memperbaiki sejumlah mata pelajaran yang dianggap belum memenuhi standar kemampuan minimal. Meskipun cukup bagus, tetapi hal ini sulit dilakukan dalam sistem tradisonal karena keterbatasan kuantitas dan kualitas guru. Di samping itu, guru juga dituntut untuk bekerja ekstra, baik dalam perubahan perencanaan, penjadwalan, kegiatan sekolah, pendanaan maupun manajemennya.
Untuk meminimalkan sistem kenaikan kelas ini, maka dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2006 tentang standar isi dan standar kompetensi lulusan yang merupakan landasan strategis dalam mengendalikan penjaminan mutu pendidikan secara nasional. Berdasarkan peraturan ini kemudian diadakanlah sistem ujian kenaikan kelas yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dengan tujuan untuk meminimalkan keragaman mutu pendidikan antar sekolah. Untuk itu, diperlukan adanya pembentukan pusat pengujian pendidikan di tingkat Kabupaten/Kota yang bersifat independen.

2.7  Teknik Penilaian Menurut BSNP
Untuk memperoleh data tentang proses dan hasil belajar peserta didik, pendidik dapat menggunakan berbagai teknik penilaian secara komplementer sesuai dengan kompetensi yang dinilai. Menurut pedoman umum BSNP, teknik penilaian yang dapat digunakan, antara lain:
1.      Tes kinerja. Tes ini dapat menggunakan berbagai bentuk, seperti tes keterampil tertulis, tes identifikasi, tes simulasi, uji petik kerja, dan sebagainya. Melalui tes kinerja ini, peserta didik mendemonstrasikan unjuk kerja sebagai perwujudan kompetensi yang telah dikuasainya.
2.      Demonstrasi. Teknik ini dapat dilakukan dengan cara mengumpulkan data kuantitatif dan kualitatif sesuai dengan kompetensi yang dinilai
3.      Observasi. Teknik ini dapat dilakukan secara formal maupun informal. Secara formal, observasi dilakukan dengan menggunakan  instrument yang sengaja dirancang untuk mengamati unjuk kerja dan kemajuan belajar peserta didik. Secara informal, observasi dilakukan oleh pendidik tanpa menggunakan instrument.
4.      Penugasan. Teknik ini dapat dilakukan dengan model proyek yang berupa sejumlah kegiatan yang dirancang, dilakukan dan diselesaikan oleh peserta didik di luar kegiatan kelas dan harus dilaporkan baik secara tertulis maupun lisan. Penugasan ini dapat pula berbentuk tugas rumah yang harus diselesaikan peserta didik.
5.      Portofolio. Teknik ini dilakukan dengan cara mengumpulkan dokumen dan karya-karya peserta didik dalam karya tertentu yang diorganisasikan untuk mengetahui minat, perkembangan belajar, dan prestasi belajar.
6.      Tes tertulis. Teknik ini dapat dilakukan dengan cara uraian (essay) maupun objektif, seperti: benar-salah, pilihan ganda, menjodohkan dan melengkapi.
7.      Tes lisan. Teknik ini menuntut jawaban lisan dari peserta didik. Untuk itu, dalam pelaksanaannya pendidik harus bertatap muka secara langsung dengan peserta didik. Pendidik juga harus membuat daftar pertanyaan dan pedoman penskoran.
8.      Jurnal, yaitu catatan peserta didik selama berlangsungnya proses pembelajaran. Jurnal berisi deskripsi proses pembelajaran termasuk kekuatan dan kelemahan peserta didik terkait dengan kinerja ataupun sikap.
9.      Wawancara, yaitu cara untu memperoleh informasi secara mendaam yang diberikan secara lisan dan spontan tentang wawasan, pandangan atau aspek kepribadian peserta didik.
10.  Inventori, yaitu skala psikologis yang digunakan untuk mengungkap sikap, minat, dan persepsi peserta didik terhadap objek psikologis ataupun fenomena yang terjadi.
11.  Penilaian diri, yaitu teknik penilaian yang digunakan agar peserta didik dapat mengemukakan kelebihan dan kekurangan diri dalam berbagai hal.
12.  Penilaian antarteman. Teknik ini dilakukan dengan meminta peserta didik mengemukakana kelebihan dan kekurangan teman dalam berbagai hal. Penilaian ini dapat pula berupa sosiomitri untuk mendapat informasi anak-anak favorit dan anak-anak yang terisolasi dalam kelompoknya.

2.8  Perkembangan dan Permasalahan Ujian Nasional
Ujian nasional yang dilaksanakan oleh Pemerintah melalui BSNP mempunyai sejarah yang cukup panjang. Sampai dengan tahun 2000, Pemerintah (Departemen Pendidikan Nasional) telah menyelenggarakan apa yang disebut dengan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS). Berbagai isu dan kritikan dari masyarakat terus bermunculan silih berganti, diantaranya:
Pertama, bentuk soal objektif-pilihan ganda dianggap kurang dapat diyakini untuk mengetahui kemampuan peserta didik yang sesungguhnya.
Kedua, hampir setiap kali penyelenggaraan EBTANAS terjadi kebocoran soal, sehingga hasilnya dianggap kurang objektif.
Ketiga, nilai EBTANAS murni merupakan satu-satunya alat seleksi untuk masuk ke jenjang pendidikan berikutnya, sehingga terkesan seolah-olah proses dan hasil belajar yang ditempuh oleh peserta didik selama enam tahun di SD/MI dan tiga tahun di SLTP hanya ditentukan oleh satu kali EBTANAS.
Keempat, penyelenggaraan EBTANAS memerlukan biaya yang sangat besar, tidak sebanding dengan manfaat hasil EBTANAS.
Berdasarkan kritikan-kritikan tersebut di atas dan masukan-masukan dari berbagai pihak yang terkait, akhirnya pemerintah menghapus EBTANAS untuk SD, SDLB, SLB tingkat dasar, dan MI dengan SK.Mendiknas Nomor 011/U/2002 tanggal 28 Januari 2002. Tindakan ini dilakukan atas beberapa pertimbangan program Pemerintah, seperti (1) program WAJAR DIKDAS 9 tahun, (2) jumlah SD sangat besar dan lokasinya tersebar sampai ke daerah pelosok dan terpencil, sehingga biaya penyelenggaraan EBTANAS untuk SD menjadi sangat besar, (3) mobalitas lulusan SD belum tinggi.
Selanjutnya, Mendiknas mengeluarkan SK.No047/U/2002 tanggal 04 April 2002 yang berisi pernyataan bahwa istilah EBTANAS untuk SLTP, SLTPLB, SMU, SMLB, MA, dan SMK diganti dengan Ujian Akhir Nasional (UAN). Ada tiga tujuan pokok penyelenggaraan UAN, yaitu untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik; untuk mengukur tingkat pendidikan pada tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan sekolah; untuk mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan sekolah kepada masyarakat. Dalam SK tersebut pada pasal 3 juga dikemukakan fungsi UAN sebagai berikut:
1.      Alat pengendali mutu pendidikan secara nasional. Melalui penyelenggaraan UAN diharapkan mutu pendidikan nasional dapat dikendalikan. UAN tidak dapat digunakan untuk pengelompokan sekolah bermutu dan sekolah yang kurang bermutu, karena akan semakin memperlebar jurang pemisah mutu sekolah yang secara nasional mamang rentang variasi mutu sekolah ini sudah sangat panjang.
2.      Mendorong peningkatan mutu pendidikan. Penyelenggaraan UAN diharapkan dapat memotivasi sekolah untuk meningkatkan mutu pembelajaran dan berusaha untuk mencapai hasil UAN secara optimal.
3.      Bahan pertimbangan untuk menentukan tamat belajar dan predikat prestasi peserta didik. UAN dijadikan bahan pertimbangan penentuan kelulusan dan penentuan predikat prestasi peserta didik. UAS menjadi Kriteria yang akurat dan berlaku nasional untuk menentukan predikat dan prestasi peserta didik.
4.      Pertimbangan dalam seleksi penerimaan siswa baru pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Butir-butir soal UAN sudah disusun untuk mampu membedakan antara peserta didik yang telah memnuhi standar kompetensi dengan yang belum menguasai standar kompetensi. Dengan demikian, akan sangat tepat bila digunakan juga untuk mengetahui potensi calon peserta didik untuk mengikuti pembelajaran di sekolah yang dipilihnya.
Sebagaimana dalam penyelenggaraan EBTANAS, maka dalam penyelenggaraan UAN pun mendapat kritikan dari berbagai kalangan masyarakat, antara lain:
1.      Sebagian besar anggota legislatif (DPR-RI) sangat keberatan terhadap pelaksanaan UAN, karena usulan anggaran UAN terlalu besar dan menghambur-hamburkan biaya. Permasalahan ini memang bersifat administratif, tetapi justru hal ini menunjukkan bahwa konsep UAN terlalu melambung dan tidak fokus, serta strategi pelaksanaan UAN yang tidak praktis. Akibatnya, pos anggaran UAN terlalu melebar dan besar.
2.      Dalam UU.No.23/2003 tentang SISDIKNAS Bab XVI Bagian Kesatu Pasal 58 Ayat (1) dijelaskan bahwa evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan, sedangkan UAN dilaksanakan oleh Pemerintah melaliui Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Dengan demikian, UAN dianggap bertentangan dengan undang-undang tersebut di atas. Pelaksanaan UAN juga belum mempunyai landasan hukum yang kuat, karena Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur tentang hal tersebut belum diterbitkan.
3.      Sebenarnya, keinginan Pemerintah untuk melaksanakan UAN boleh-boleh saja dan disambut positif oleh masyarakat, tetapi fungsinya bukan untuk menentukan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan atau juga sebagai dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, melainkan untuk memperbaiki sistem pendidikan dasar atau menengah secara nasional, pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan, memotivasi kepala sekolah, pendidik, peserta didik, dan orang tua dalam upaya peningkatan mutu pembelajaran. Jika UAN tetap berfungsi untuk menentukan kelulusan, maka akan timbul pertanyaan dari orang tua siswa, untuk apa mengikuti pendidikan di SD/MI selama enam tahun, SLTP tiga tahun, dan SLTA tiga tahun jika kenyataannya kelulusan hanya ditentukan oleh satu kali UAN dengan beberapa mata pelajaran”.
4.      Sistem konversi skor yang digunakan dalam pelaksanaan UAN dianggap merugikan peserta didik, karena memotong skor anak pandai untuk diberikan kepada peserta didik yang kurang pandai.
Berdasarkan kritikan-kritikan tersebut, maka Mardapi dalam Endang Poerwanti (2008) mengemukakan hasil penelitiannya tentang pelaksanaan UAN, di antaranya:
1.      Dalam penyelenggaraan UAN hendaknya:
a.       Mengikutsertakan daerah dalam penyusunan soal;
b.      Biaya ujian sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah;
c.       Peningkatan kualitas soal;
d.      Peningkatan objektivitas sistem skoring;
e.       Peningkatan keamanan soal;
f.       Pengamanan koreksi silang antar sekolah yang setingkat;
g.      Pengiriman hasil UAN sesegara mungkin;
h.      Pemenuhan fasilitas minimum dalam penyelenggaraan UAN.
2.      Diperlukan adanya pelatihan penyusunan soal bagi guru daerah untuk meningkatkan kualitas soal ujian.
3.      Perlunya inovasi dalam pembelajaran dengan menggunakan berbagai media untuk meningkatkan motivasi dan minat siswa dalam mempelajari materi yang dianggap sulit.
4.      Analisis UAN secara terperinci sesegera mungkin disampaikan ke sekolah agar informasi tentang pokok bahasan atau materi yang sulit dapat diketahui pihak sekolah dan para guru dapat mengambil strategi untuk mengatasinya.
5.      Sosialisasi dan informasi UAN perlu dilakukan seawal mungkin yang meliputi kisi-kisi ujian (standar kompetensi lulusan), bentuk soal ujian, proses penskoran, kriteria kelulusanya sehingga sekolah maupun siswa dapat lebih mempersiapkan diri menghadapi UAN.
6.      Pemerintah perlu membantu fasilitas dan peralatan yang memadai dalam pelaksanaan ujian sehingga mata pelajaran yang memerlukan media tertentu dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan UAN.
7.      Pemerintah perlu membantu fasilitas dan peralatan yang memadai dalam pelaksanaan ujian sehingga, mata pelajaran yang memerlukan media tertentu dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan UAN.
Mengingat begitu gencarnya kritikan terhadap UAN, maka dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2005 tentang standar Nasional Pendidikan, terutama pada pasal 66 sampai dengan pasal 72 yang menyangkut tentang Ujian Nasional (UN) dan pasal 73 sampai dengan pasal 77 tentang BSNP. Dengan kata lain, untuk menyelenggarakan ujian nasional tersebut, maka Menteri Pendidikan Nasional membentuk suatu badan yang bersifat mandiri dan independen yang disebut Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Pada tahun 2006/2007 mulai dilaksanakan UN yang diperkuat oleh Permendiknas No.22/2006 tentang Standar Isi Permendiknas No.23/2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan, Permendiknas No.45 Tahun 2006.
      Namun demikian, masih banyak  masyarakat yang bingung dengan PP No.19/2005. Misalnya, dalam pasal 68 ditegaskan bahwa hasil UN digunakan sebagai dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya dan penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan. Artinya, jika peserta didik tidak lulus UN meskipun sudah mengulang, maka dia tidak mungkin menyelesaikan pendidikan dasar Sembilan tahun yang menjadi haknya. Hal ini berarti bertentangan dengan UU.No.20/2003 pasal 6 ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Pendidikan dasar ini sudah ditentukan oleh pemerintah, yaitu selama sembilan tahun yang dikenal dengan Wajar Diknas 9 tahun, yaitu 6 tahun di SD atau yang sederajat dan 3 tahun di SLTP.
PP.No.19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan mendapat kritikan dari berbagai pihak. S.Hamid Hasan, misalnya, salah seorang guru besar Universitas Pendidikan Indonesia mengungkapkan dalam tulisannya di H.U.Pikiran Rakyat tanggal 04 Februari 2006 halaman 30 dengan judul “Mau Ke mana ujian Nasional?”. Salah satu pertanyaan yang diajukan adalah mengapa PP.No.19/2005 menentapkan UN hanya berkenaan dengan kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi? Menurut  Hasan, penilaian pencapaian kompetensi untuk kelompok mata pelajaran ini hanya mengakomodasi penilaian terhadap sebagian kecil pencapaian tujuan pendidikan nasional. Jika argumentasinya bahwa aspek lain dari tujuan pendidikan nasional diuji dalam ujian sekolah, mengapa kedudukan UN sangat khusus, sehingga ia diatur secara khusus, dan menjadi persyaratan khusus kelulusan. Ini merupakan masalah UN yang sangat kritikal, karena tujuan pendidikan nasional sampai saat sekarang tidak dijadikan kriteria untuk menilai keberhasilan pendidikan dan mutu pendidikan. Barangkali sudah saatnya rumusan tujuan pendidikan dijadikan dasar dalam penilaian hasil pendidikan.
      Dijelaskan lebih lanjut oleh S.Hamid Hasan bahwa di banyak negara di dunia ini perpindahan, promosi atau melanjutkan pelajaran dari satu sekolah ke sekolah lain yang masuk bagian pelaksana pendidikan dasar ataupun wajib belajar tidak dilakukan melalui suatu ujian sekolah atau UN seperti yang dipersyaratkan PP.No.19/2005. Oleh karena itu, permasalahan yang dikemukakan pada bagian ini memang tidak muncul di negara-negara tersebut, karena sudah dianggap menjadi kewajiban Pemerintah untuk menyediakan tempat dan cara bagi mereka untuk menyelesaikan pendidikan dasar.
      Ketika Ujian Nasional mulai dilaksanakan pada tahun 2006/2007, muncul lagi persoalan baru, yaitu ketidakseragaman sekolah menggunakan kurikulum. Di  suatu sekolah (terutama di kelas tertentu) masih menggunakan kurikulum 1994, ada juga yang sudah melaksanakan kurikulum 2004 (KBK), bahkan ada sekolah yang sudah mengembangkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Untuk mengatasi masalah ini, maka pemerintah mengambil suatu kebijakan materi soal UN diambil dan bersumber  dari ketiga kurikulum tersebut. Berikut akan dikemukakan beberapa kritikan, komentar, dan permasalahan tentang UN dan perlu segera dicarikan solusinya, yaitu:
1.      Setiap kali pelaksanaan ujian nasional atau apapun namanya selalu saja ada peserta didik yang kurang siap, baik fisik maupun mentalnya. Ada yang pingsan ketika sedang mengikuti UN, ada yang sakit, ada yang stress, bahkan ada pula yang sampai gantung diri, terutama setelah peserta didik dinyatakan tidak lulus UN. Memang hal seperti ini tidak dapat digenerelesasikan, karena bersifat kasuistik, tetapi bukan berarti dibiarkan begitu saja. Masih ada imej yang negatif dari peserta didik bahwa seolah-olah UN merupakan sesuatu yang menakutkan. Oleh sebab itu, Pemerintah harus terus melakukan sosialisasi dengan berbagai pendekatan untuk menghilangkan imej negatif tersebut sehingga peserta didik menjadi akrab dengan UN. Bagaimana mungkin UN dapat memberikan motivasi kepada peserta didik, bila peserta didik selalu diselimuti rasa ketakutan yang berlebihan.
2.      Mutu hasil pendidikan berupa produk cenderung digunakan sebagai indikator keberhasilan dan kualitas penyelenggaraan pendidikan di Indonesia dalam suatu periode. Padahal, produk berupa angka, peringkat, indeks prestasi, atau hasil UN dinilai belum bisa memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai mutu pendidikan. M.Surya dalam Seminar Nasional Pendidikan tanggal 03 Agustus 2008 di GOR Tri Lomba Juang Bandung mengatakan “kita harus melihat semua anak sebagai peserta didik yang berhak dinilai mutu pendidkannya dari sudut pandang holistik, yaitu kualitas kepribadian dan kontribusi untuk lingkungan, bukan menyisihkan mereka yang UN-nya rendah dan mengistimewakan mereka yang UN-nya tinggi”. Menurut Surya, “dalam konsep yang lebih luas, mutu pendidikan mempunyai makna sebagai suatu kadar proses dan hasil secara menyeluruh”. Dalam konteks hasil, mutu pendidikan dilihat dari jenjang produk seperti angka-angka. Memang secara kuantitas peserta banyak yang naik kelas dan lulus ujian, tetapi secara kualitas standar nasional pendidikan di Indonesia jauh ketinggalan dari negara-negara berkembang lainnya. Sejak diterapkannya kurikulum 2004, maka sistem penilaian menggunakan penilaian berbasis kelas (classroom-based assessment) dengan pendekatan acuan patokan (criterion-referenced). Tentu banyak peserta didik dan orang tua merasa terkejut, karena peserta didik harus memiliki nilai “nilai minimal” sebagai patokan atau kriteria kelulusan dari satuan pendidikan tertentu. Setiap tahun kriteria minimal tersebut terus dinaikkan oleh Pemerintah. Permasalahannya adalah mengingat wilayah Indonesia memiliki kondisi geografis yang berbeda, dan antara provinsi satu dengan yang lainnya mempunyai daya serap kurikulum yang berbeda, maka perlu dicarri alternatif lain untuk menentukan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan tertentu.
3.      Sebagai dampak dari ketentuan”nilai minimal” di atas, maka hampir setiap tahun pelaksanaan Ujian Nasional sering terjadi (a) kebocoran soal, artinya soal sudah diketahui peserta didik sebelum UN dimulai, (b) keterlambatan sekolah menyampaikan atau menyerahkan lembar jawaban UN ke panitia atau ke Dinas Pendidikan kabupaten/kota. Diduga lembar jawaban tersebut sedang diperbaiki oleh oknum guru (c) banyak oknum kepala sekolah dan guru yang sengaja membantu peserta didik menjawab soal UN melalui berbagai cara, seperti memberikan kunci jawaban melalui SMS secara berantai, menempelkan kunci jawaban di toilet dan sebagainya. Hal ini memberikan gambaran bahwa adanya perubahan atau pergeseran makna tentang penilaian atau ujian itu sendiri. Seharusnya penilaian merupakan cermin kemampuan diri, tetapi justru menjadi tujuan. Di samping itu, pada kelas akhir di setiap satuan pendidikan terjadi perubahan orientasi proses pembelajaran. Setiap peserta didik diarahkan untuk mengikuti latihan mengerjakan soal, try-out, bimbingan khusus dengan guru, dan lain-lain dalam rangka persiapan UN. Mungkin hal itu terjadi karena fungsi UN sangat mutlak, teruttama sebagai dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya dan penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan. Mengingat UN, sudah mempunyai landasan hukum yang kuat, maka kepada semua pihak yang terkait, seperti kepala sekolah, guru, orang tua, dan peserta didik untuk mengarahkan semua kegiatan pembelajaran dalam rangka pencapaian Standar Kompetensi Kelulusan.
Berdasarkan kritikan dan masukan dari masyarakat tentang UN dan memperhatikan pulaprogram wajib belajar pendidikan dasar Sembilan tahun, maka sejak tahun 2008/2009 dilaksanakan Ujian Akhir Sekolah Bertaraf  Nasional (UAS-BN) untuk Sekolah Dasar dan yang sederajat. Maksudnya, pembuatan soal dilakukan oleh guru-guru SD di bawah bimbingan dan pengarahan dari Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah serta BSNP.


BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
3.2  Saran


DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Zainal. 2009. Evaluasi Pembelajaran. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pembelajaran Matematika SD

Laporan Observasi Pembelajaran IPS SD